Sunday 24 April 2016

Civil War

SEJARAH mencatat, puluhan negara pernah dilanda perang sipil (civil war) atau perang saudara. Beberapa di antaranya hanya menjadi sejarah yang kelam dalam perjalanan bangsa. Tetapi, masih ada yang terus berlanjut hingga kini.

Perang saudara dapat dipahami sebagai perang yang terjadi bukan antarbangsa atau negara, melainkan antarbeberapa faksi dalam suatu entitas politik. Pun demikian, korbannya justru lebih parah ketimbang perang antarbangsa.

Negara Super Power, Amerika Serikat juga pernah dilanda perang saudara dalam kurun 1861 hingga 1865. Perang ini lebih dikenal dengan perang antarnegara bagian.

Kala itu, sebelas negara bagian budak di Selatan mengumumkan pemisahan dari Amerika Serikat dan membentuk Konfederasi Amerika yang dikenal sebagai "Konfederasi".

Di bawah pimpinan Jefferson Davis, pihak Konfederasi ini berupaya melepaskan diri atau memperjuangkan kemerdekaannya dari Amerika Serikat.

Mereka pun berhadapan dengan Pemerintah Federal Amerika Serikat yang didukung 20 negara bagian. Kebanyakan negara bagian bebas yang telah menghapus perbudakan dan lima negara bagian budak yang kelak dikenal sebagai negara bagian perbatasan.

Negara-negara bagian pro pemerintah dini disebut Uni. Mereka memiliki basis populasi dan industri yang jauh lebih besar ketimbang pihak Konfederasi di Selatan.

Setelah empat tahun berperang, Konfederasi menyerah dan perbudakan dihapus di seluruh negara. Restorasi Serikat, dan Era Rekonstruksi yang mengikutinya, menghadapi masalah yang masih belum terselesaikan selama beberapa generasi selanjutnya.

Perang Saudara Amerika Serikat merupakan perang pertama yang menunjukkan perang industri persenjataan dalam sejarah manusia. Pembuatan rel kereta, kapal-kapal uap, produksi senjata secara massal, dan berbagai macam alat militer lainnya dilakukan di mana-mana.

Praktik perang total yang dikembangkan Sherman di Georgia dan 'Perang Parit' di sekitar Petersburg menjadi salah satu taktik yang digunakan dalam Perang Dunia I di Eropa.

Catatan hitam itu terulang kembali. Perang saudara kembali terulang, tetapi bukan di dunia nyata, melainkan di film "Captain America: Civil War". Film bergenre action, sci-fi, dan thriller ini disutradarai Anthony Russo dan Joe Russo.

Film produksi Marvel Studios ini ditulis Christopher Markus dan Stephen McFeely. Menyajikan adegan-adegan yang sangat menegangkan. Tidak mengherankan, para pecinta film sangat tidak sabar menunggu rilisnya.

Film ini menampilkan sederet superhero. Di antaranya Steve Rogers (Captain America), Tony Stark (Iron Man), Natsha Romanoff (Black Widow), Bucky Barnes (Winter Soldier), Sam Wilson (Falcon), The Vision, Clint Barton (Hawkeye), Jim Rhodes (War Machine), Wanda Maximoff (Scarlet Witch) dan Peter Parker  (Spiderman).

Cerita film "Captain America: Civil War" melanjutkan ending dari "Avengers: Age of Ultron", saat Captain America mengambilalih kepemimpinan dari tim baru Avengers.

Tidak beberapa lama setelah insiden internasional yang menyebabkan kehancuran di bumi itu, banyak sekali tekanan politik yang menuntut para superhero memasang sistem pertanggungjawaban dan badan yang menentukan kapan saatnya tim dibutuhkan.

Alhasil, Pemerintah Amerika Serikat pun mengeluarkan Undang-Undang (UU) yang mengharuskan orang-orang yang memiliki kemampuan superhero, mengungkapkan identitasnya kepada pemerintah.

Captain America menolak aturan baru itu, lantaran mengancam kebebasan para superhero. Tetapi di sisi lain, Iron Man menerima UU tersebut, yang berarti bertentangan dengan rekan setimnya itu. Perselisihan pun tidak dapat dielakkan.

Captain America mengumpulkan superhero yang sejalan dengan pemikirannya. Demikian pula dengan Iron Man. Terciptalah dua kubu yang saling berlawanan.

Kubu Captain America berisikan superhero Hawkeye, Agent 13, Falcon, Winter Soldier dan Ant-Man. Sementara di kubu Iron Man terdapat War Machine, Black Widow, Black Panther dan Vision. Hanya Spiderman yang belum diketahui masuk ke kubu yang mana.

Akhir dari perseteruan ini tentunya sulit diterka. Apakah berakhir damai atau tidak. Kalau pun tidak, muncul pertanyaan, siapa yang akan menang? Juga sulit ditebak, mengingat masing-masing kubu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Ending yang masih abu-abu inilah yang menjadi daya tarik tersendiri dari film "Captain America: Civil War". Menjadikannya, sangat menarik untuk ditonton di bioskop-bioskop kesayangan.

Entah untuk menyaingi "Batman v Superman: Dawn Justice" atau mengingatkan kembali "kebodohan" perang saudara di masa lalu Amerika Serikat yang banyak memakan korban, film "Captain America: Civil War" memang sangat pantas untuk ditonton.

Mata para penonton dipastikan akan termanjakan dengan tampilan menakjubkan dari film ini. Terlepas dari alur ceritanya, aksi-aksi para superhero dengan efek komputer ini tentu akan membuat semua orang takjub. (*)

Kembang Tinju Saja

KALANGAN manapun sepakat, sepakbola merupakan olahraga rakyat. Silakan bertanya kepada siapapun, dari anak-anak hingga dewasa, baik pria maupun perempuan, pasti mengetahui olahraga menendang kulit bundar ini. Terlepas dari suka atau tidak.

Tidak dapat dimungkiri, sepakbola merupakan olahraga paling populer di dunia. Tetapi sayang, sangat tidak cocok dengan Indonesia. Terbuang dari Federasi Sepakbola Internasional (FIFA) merupakan salah satu buktinya.

Bukan lantaran Indonesia tidak memiliki pesebakbola, melainkan karena filosofi dalam sepakbola itu sangat tidak sesuai dengan karakteristik rakyat Indonesia secara umum, dan pemerintahan secara khusus. Paling tidak untuk kondisi saat ini.

Sepakbola sangat mengedepankan koordinasi di semua lini. Misalnya, antarpemain, pelatih dengan pemain, sponsor dengan official atau lainnya. Bahkan ballboy atau si pemungut bola pun sangat memerlukan koordinasi.

Pesepakbola yang memiliki skill dan tugas masing-masing di lapangan, mau tidak mau, harus berkoordinasi dengan rekan setimnya yang memiliki skill dan tugas yang berbeda di lapangan. Misalnya, antara kiper dengan striker.

Selain itu, mereka yang terlibat langsung di lapangan sepakbola dengan yang tidak pun harus mengedepankan koordinasi. Misalnya, penonton dituntut untuk ikut menyukseskan pertandingan, terlepas dari timnya menang atau kalah, jangan bikin rusuh.

Apalagi pemerintah dengan ososiasi pesepakbolaan, dengan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) misalnya, juga harus mengedepankan koordinasi.

Tidak sulit untuk berkoordinasi. Tetapi terbukti tidak bisa dilakukan. Buntutnya sepakbola Indonesia keluar dari kancah dunia. Akhirnya, seperti sekarang, bikin pertandingan masing-masing dikenal dengan pertandingan Tarkam (Antar Kampung).

Nampaknya sudah saatnya menjadikan sepakbola sekedar hobi. Bukan target besar untuk dimajukan, apalagi digadang-gadang untuk mengharumkan nama Indonesia di mata dunia. Cukup. Indonesia nampaknya memang tidak bisa 'terjun' ke kancah yang mengharuskan kerja tim di atas segalanya.

Setelah 'era' badminton atau bulutangkis, nampaknya olahraga tinju sangat pas dikembangkan atau digaungkan di negeri yang membentang dari Sabang sampai Merauke ini. Minimal, sangat sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini.

Olahraga tinju dapat mengikis budaya berani karena ramai, seperti yang seringkali dipertontonkan Indonesia selama ini. Sebut saja tawuran antarpelajar, bentrok antarklub motor atau antarkomunitas lainnya.

Budaya main keroyok, rasanya makin marak. Dimeriahkan pula di media massa dan jejaring sosial. Sebenarnya memalukan, ironis justru menyeruak rasa bangga. Kedunguan yang dipublikasikan dianggap sebagai prestasi.

Budaya menindas oranglain karena memiliki sejumlah massa, kuasa, solidaritas buta dan sebagainya menjadi khas di negeri ini. Budaya seperti ini harusnya dikikis habis. Mesti ada perubahan mainset yang sangat mendasar, bahwa walau sendiri tetap harus berani.

Apabila setiap anak berlatih tinju sejak dini, maka akan lahir ksatria di dalam dan luar ring. Mereka pun akan memiliki simpanan beladiri individual untuk menjaga kesehatan, melindungi oranglain, dan jiwa kompetisi yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini.

Tidak sekedar bisa menghantarkan tinju ke wajah oranglain, mereka yang berlatih tinju juga mendapat pengertian bahwa aturan keras bukan untuk melukai fisik apalagi hati oranglain.

Di luar negeri, kepalan tinju profesional selevel belati. Berarti meninju oranglain, hukumannya sama dengan menusuk. Bila aturan seperti ini berlaku di Indonesia, maka negeri ini dipadati pemuda berbadan tegap, jagoan, namun santun dan berjiwa sportif.

Tinju merupakan olahraga individual yang sarat pencapaian diri. Untuk sukses mesti latihan keras sendiri, shadow boxing sendiri, punching bag sendiri, lari sendiri, bertanding juga sendiri.

Bukan mengandalkan oranglain untuk meraih sesuatu, seperti dalam dunia politik di Indonesia, yang rela mati-matian mencari kambing hitam untuk mendapatkan kekuasaan, atau menyanjung-nyanjung sesepuh agar orang bersimpati dengan diri.

Olahraga tinju juga sangat potensial untuk menyerap kelebihan energi anak-anak muda. Sehingga mereka tidak sibuk membuang energinya dengan nongkrong tidak jelas, keluyuran di mall, balap liar, tawuran dan sejenisnya yang kini jadi lifestyle anak-anak muda.

Pengembangan olahraga tinju juga menjadi jawaban atas merajalelanya pembangunan yang mengikis ruang terbuka hijau, ruang yang dianggap sebagai penyalur energi anak-anak muda yang berlebih, untuk jogging, bersepeda, aerobic dan lainnya.

Olahraga tinju hanya butuh sedikit ruang untuk berlatih dan bertanding. Tetapi cukup menjadi wadah menyalurkan energi. Misalnya untuk jump role, sit up, push up, back up, shadow boxing dan bentuk latihan tinju lainnya.

Selain itu, olahraga tinju juga bisa mengembalikan budaya hidup sehat dan sportif yang mulai terkikis di negeri ini. Nampak dari sudah terbiasanya main sikut, serempet dan lainnya demi meraih prestasi. Kehilangan jiwa sportif ini mungkin terpupuk dari buruknya kesehatan fisik dan jiwanya.

Andaikan, generasi muda digenjot untuk latihan dan disiplin tinju, niscaya ketika mereka bekerja di berbagai disiplin ilmu, pondasinya sudah kokoh, yakni disiplin dan sportivitas. Kalaupun terpaksa harus adu otot, minimal hanya di atas ring secara jantan, satu lawan satu. Menang atau kalah tetap berpelukan. Badan sehat, jiwa pun stabil tidak dikungkung dendam dan tipu muslihat.

Lantaran semua serba sendiri, bukan berarti olahraga tinju tidak butuh oranglain. Petinju tetap butuh pelatih, promotor, tim medis, dan lainnya. Semuanya mesti sejalan setujuan, demi kesuksesan bersama.

Jangan kira pula, olahraga tinju tidak memiliki nilai solidaritas. Hal itu sudah nampak sejarah arena bertandingnya yang berbentuk kotak. Padahal namanya 'ring' yang merujuk pada lingkaran.

Dulu, ketika masih dianggap kegiatan ilegal, ring tinju masih berbentuk lingkaran manusia (penonton). Ketika ada razia, seketika mereka membaur, sehingga samarlah mana yang petinju atau penonton. Solidaritas yang tinggi.

Harmonisasi penonton dan atlet bersatu atas nama respek. Antarpenonton dan antaratlet hormat menghormati. Hal yang sangat mendasar olahraga tinju.

Tinju bukan sekedar adu keras pukulan, namun juga olah otak untuk menguras tenaga lawan, menahan pukulannya, strategi counter punch dan combo punch. (*)

Sunday 10 April 2016

Hitam-Putih Pendidikan di Indonesia

KEPERGOKNYA penjual kunci jawaban Ujian Nasional (UN) di depan SMK Negeri 1 Pontianak, Kalbar, Senin (4/4) lalu, menambah sisi gelap pendidikan Indonesia. Apalagi jual beli ini juga melibatkan Kepala Sekolah (Kepsek) di Kabupaten Landak.

Kendati kunci jawaban yang diperjualbelikan itu hanya dua matapelajaran, yakni Bahasa Indonesia dan Geografi, sudah cukup menambah kekelaman pendidikan di negara yang membentang dari Sabang sampai Merauke ini.

Selama ini, hasil survei penilaian pendidikan internasional yang dilakukan setiap tiga tahun, sudah membuat insan pendidikan di Indonesia tertunduk malu.

Survei yang dilakukan Programme International Student Assessment (PISA) tersebut berulangkali mencatat nama Indonesia dalam kelompok peringkat terendah sejak 2000.

Penilaiannya melalui tes membaca, matematika dan ilmu alam terhadap sejumlah siswa yang berusia sekitar 15 tahun. Mereka dari sekolah di berbagai penjuru dunia. Tesnya memang nampak sederhana, tetapi selalu menempatkan Indonesia di garis 'degradasi'.

Berbagai analisa pun bermunculan. Kebanyakan pakar berpendapat, anak didik di Indonesia cenderung dimanjakan oleh proses pembelajaran. Apapun kurikulumnya, guru selalu mendominasi. Sedangkan anak didik mesti membeo saja.

Kuantitas jam belajar dinilai juga memengaruhi hasil memalukan ini. Di Indonesia, rata-rata jam belajarnya sekitar delapan jam. Bandingkan dengan di negara maju yang mencapai sekitar 14 jam.
Itu belum seberapa.

Di beberapa sekolah di Indonesia, khususnya di Kalbar, jam belajarnya hanya sekitar lima jam. Karena anak didik mesti bergantian menggunakan ruang kelas yang jumlahnya sangat terbatas.

Belum lagi, minimnya jumlah guru.
Berbagai kekurangan dalam sistem pendidikan, termasuk fasilitasnya ini, seringkali dijadikan kambing hitam rendahnya motivasi anak didik untuk belajar dan mengukir prestasi.

Hal ini ada benarnya. Lantaran anak didik cenderung membuang kejenuhannya dalam belajar dengan menjauhkan diri dari sekolah. Kafe-kafe, bahkan Tempat Hiburan Malam (THM) menjadi pilihannya untuk 'lari' dari rutinitas belajarnya.

Seburuk inikah pendidikan Indonesia? Jawabannya; Ya..bahkan lebih parah lagi, mengingat akrabnya dunia kaum intelek ini dengan kecurangan-kecurangan. Tetapi, ini hanya salah satu sisi koin pendidikan di Indonesia. Sisi koin lainnya justeru jauh bertolak belakang.

Ribuan anak didik Indonesia sibuk memperebutkan gelar terbaik di berbagai kejuaraan sains, mulai di tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional, hingga ke taraf internasional.

Banyak juga putra-putri Indonesia berkesempatan mengenyam pendidikan di luar negeri melalui jalur beasiswa prestasi dan pertukaran pelajar setiap tahunnya.

Bahkan, mereka tidak sekedar menghabiskan waktu untuk sekolah di negeri orang, melain meraih penghargaan sebagai anak didik terbaik, mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional.

Tidak dapat dimungkiri, Indonesia merupakan negara langganan juara olimpiade internasional. Hampir setiap kejuaraan akademis internasional, selalu menempatkan Indonesia dalam deretan juara.

Pernah juga seorang anak didik Indonesia mengikuti program pertukaran pelajar SMA ke Maryland dan mendapat Honor Roll (GPA 4 dari skala 4) untuk dua semester berturut-turut selama berada di sana.

Kemudian seorang mahasiswa Indonesia yang telah berhasil menyelesaikan studi program integrasi S2-S3 (normalnya diselesaikan dalam lima tahun) hanya dalam kurun 3,5 tahun di Korea Selatan.

Pendidikan di Indonesia memang laksana dua sisi koin. Satu sisi begitu kelam, tetapi di sisi lain begitu cemerlang. Keduanya tidak terpisahkan, sejalan seiring. Ironi, mengapa hal semacam ini bisa terjadi?.

Koin pendidikan ini merupakan bukti tidak meratanya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Anak didik yang berprestasi cenderung dari sekolah berkualitas, kebanyakan di Jawa. Hanya beberapa saja di pulau lainnya di Indonesia.

Kalau pun ada anak-anak daerah pelosok, terpencil, pedalaman dan perbatasan yang berprestasi, hanya kasuistik, karena kebetulan mendapat dukungan atau bimbingan dari pemerhati pendidikan yang didirikan pihak swasta atau pemerintah.

Sangat mustahil mereka bisa mengukir prestasi kalau hanya mengandalkan sekolahnya yang seperti 'belum merdeka', baik dari segi bangunan, fasilitas, maupun aksesnya. Memang ada upaya perbaikan, tetapi masih jauh dari kata merata.

Kesenjangan kualitas pendidikan antardaerah ini tentu menjadi Pekerjaan Rumah (PR) yang besar bagi pemerintah, lembaga pendidikan, guru dan orangtua. Solusi yang tepat tentu sangat diharapkan. Bukan malah kehabisan energi mengurus alat ukur untuk mengevaluasi, yakni UN.

Naskah UN, dengan pengawalan dan pengawasan yang ketat, berhasil didistribusikan hingga ke tangan anak didik. Seandainya hal serupa juga terjadi pada distribusi buku ajar dan pengajarnya, berikut fasilitas-fasilitas pendidikan, tentu tidak akan ada bedanya bersekolah di Jawa dengan di ujung negeri, sama-sama memiliki kualitas yang baik. (*)

BTC

Doge

LTC

BCH

DASH

Tokens

SAMPAI JUMPA LAGI

SEMOGA ANDA MEMPEROLEH SESUATU YANG BERGUNA