Tuesday, 10 November 2009

Mengenal Pemanasan Global

Ketika para ilmuan mengenalkan ilmu tentang iklim, diketahui bahwa iklim di bumi selalu berubah. Hal tersebut diperoleh perbandingan suhu antarzaman.

Berdasarkan hasil penelitian mengenai zaman es, menunjukkan iklim bisa berubah dengan sendirinya dan radikal. Saat itu, penyebabnya masih belum diketahui.

Berbagai asumsi pun bermunculan mulai dugaan dihantam meteor, bervariasinya panas matahari, gunung meletus, perubahan arah angin, struktur bumi, aliran luat atau mungkin juga dikarenakan komposisi udara yang berubah-ubah.

Berbagai asumsi tersebut, baru dapat dipastikan sekitar abad 19, di mana terdapat studi mengenai iklim. Di sinilah dikenal istilah kandungan gas di atmosfer atau CO2 yang memengaruhi iklim di bumi.

CO2 yang memengaruhi atmosfer itu dikenal sebagai Gas Rumah Kaca (GRC), yakni suatu efek yang molekulnya di atmosfer bersifat seperti efek rumah kaca. Seharusnya efek ini–bila alamiah–dapat menjaga temperatur di permukaan bumi.

Selanjutnya pada 1820, seorang peneliti Fourier mengetahui kalau atmosfer itu sangat bisa diterobos (permeable) cahaya Matahari yang masuk ke permukaan Bumi.  Tetapi tidak semua cahaya yang dipancarkan ke permukaan Bumi itu bisa dipantulkan keluar, radiasi infrared yang seharusnya terpantul malah terjebak.

Sehingga atmosfer Bumi menjebak panas (prinsip dari efek rumah kaca). Sekitar 30 tahun berikutnya, Tyndall menemukan tipe-tipe gas yang menjebak panas tersebut berupa karbondioksida (CO2) dan uap air.

Molekul-molekul itulah yang disebut Gas Rumah Kaca. Arrhenius kemudian memperlihatkan, jika konsentrasi CO2 dilipatgandakan, maka peningkatan temperatur permukaan menjadi sangat signifikan.

Semenjak penemuan Fourier, Tyndall dan Arrhenius tersebut, ilmuwan semakin memahami bagaimana Gas Rumah Kaca menyerap radiasi, memungkinkan membuat perhitungan yang lebih baik untuk menghubungkan konsentrasi Gas Rumah Kaca dan peningkatan Temperatur.

Jika konsentrasi CO2 dua kali lipat saja, maka temperatur bisa meningkat hingga 1derajat celsius. Tetapi, atmosfer tidaklah sesederhana model perhitungan tersebut.

Kenyataannya, peningkatan temperatur bisa lebih dari 1derajat celsius karena ada faktor-faktor seperti, perubahan jumlah awan, pemantulan panas yang berbeda antara daratan dan lautan, perubahan kandungan uap air di udara, perubahan permukaan Bumi, baik karena pembukaan lahan, perubahan permukaan, atau sebab-sebab yang lain, alami maupun karena perbuatan manusia.

Atmosfer menjadi lebih panas karena lebih banyak menyimpan uap air, dan menyimpan lebih banyak panas, memperkuat pemanasan dari perhitungan standar. Sejak 2001, studi-studi mengenai dinamika iklim global menunjukkan dunia telah mengalami pemanasan minimal lebih dari 3 derajat celsius semenjak zaman pra-industri.

Dengan peningkatan 3 derajat celsius saja, bisa menekan konsentrasi Gas Rumah Kaca supaya stabil pada 430 part per million CO2e. Yang pasti, sejak 1900, Bumi telah mengalami pemanasan sebesar 0,7 derajat celsius.

Pemanasan tersebut dikenal dengan istilah Global Warming atau pemanasan global. Manusia paling dianggap menjadi penyebab terjadi global warming tersebut.

Pemanasan global pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC.

Sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global, termasuk Indonesia yang terjadi pada kisaran 1,5–40 Celcius pada akhir abad 21.

Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dan lainnya).

Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi gangguan fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara, permukiman penduduk, pengurangan produktivitas lahan pertanian, peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit.

Karena berdasarkan laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada 2007, menunjukkan secara rata-rata global aktivitas manusia sejak 1750 menyebabkan adanya pemanasan. Perubahan kelimpahan gas rumah kaca dan aerosol akibat radiasi Matahari dan keseluruhan permukaan Bumi memengaruhi keseimbangan energi sistem iklim. (*)

Protokol Kyoto Beri Peluang Proyek Lingkungan

Protokol Kyoto merupakan hasil Conference of Parties (CoP) Ketiga yang diadakan di Kyoto, Jepang pada Desember 1997, di dalamnya menyangkut berbagai komitmen untuk menyelamatkan bumi dari pemanasan bumi (global warming)

Protokol Kyoto menghasilkan keputusan utama berupa komitmen dari negara-negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, setidaknya rata-rata 5 persen di bawah level emisi pada periode 2008–2012.

Hal tersebut sesuai dengan Artikel Ketiga Protokol Kyoto. Protokol Kyoto mencakup tiga instrumen atau mekanisme fleksibel yang berbasis pasar yang dikenal sebagai Mekanisme Kyoto, yang memberikan kesempatan kepada negara-negara untuk dapat membeli atau mendapat kredit pengurangan emisi melalui investasi dalam proyek-proyek pengurangan efek negatif perubahan iklim.

Protokol ini lahir dari adanya kekhawatiran berkaitan dengan terjadinya perubahan iklim. Hal tersebut sebenarnya telah terlahir lebih dari seabad yang lalu. Svante Arrhenius, seorang ilmuwan Swedia pada 1894 menyatakan CO2 merupakan unsur terpenting yang mengontrol suhu bumi di atmosfer.

Hal tersebut dinilai mempengaruhi berbagai perubahan di bumi. Seperti diketahui, berakhirnya zaman es ditandai dengan mencairnya gunung-gunung es di kawasan kutub. Sehingga membentuk topografi darat dan luas lautan seperti sekarang ini

Menurut Arrhenius, perubahan tersebut dikarenakan adanya penambahan CO2 diudara. Ungkapannya tidak hanya omong kosong, karena dia sendiri telah membuktikan dengan menginformasikan kadar CO2 di batu es dari zaman es.

Hasilnya hanya ditemukan setengah CO2 dari zaman sekarang. Oleh karenanya, Arrhenius berpendapat, kenaikan suhu atmosfer akan terjadi bila CO2 meningkat akibat ulah manusia di bumi yang memanfaatkan berbagai bahan alam untuk kepentingan hidupnya.

Menurut dia, yang menjadi sumber emisi tersebut di antaranya ketika masyarakat menggunakan atau memanfaatkan bakar fosil yang menyebabkan suhu bumi mendadak meningkat dan tidak dapat dibentuk atau tidak dapat dikontrol .

Alhasil, CO2 akan menumpuk atau berkumpul di atmosfes seperti tabir yang menghadang radiasi panas bumi dan seisinya ke luar angkasa, padahal hal tersebutlah yang menjaga keseimbangan panas di bumi.

Tabir CO2 inilah yang dianaligikan atau dikiyaskan sebagai dinding rumah kaca. Karena dia hanya membiarkan radiasi matahari masuk, teetapi mencegah radiasi tersebut keluar kembali.

Sehingga suhu rumah kaca lebih tinggi dari sekitarnya. Gejala tersebut sering disebut sebagai efek rumah kaca. Lonjakan konsentrasi CO2 tersebut terjadi setelah era revolusi industri.

Apabila tidak ada upaya konkret untuk mereduksi emisi CO2 maka musibah perubahan iklim akan dimulai. Pada akhirnya kondisi lingkungan yang mengkhawatirkan ini mengundang perhatian dari kalangan ilmuwan, cendikiawan dan aktivis lingkungan, yang kemudian tertuang dalam suatu konferensi di Villach, Austria tahun 1985.

Konferensi tersebut kemudian menghasilkan evaluasi pertama dan otoritatif untuk mengatakan seriusnya potensi kerusakan yang diakibatkan perubahan iklim. Kesadaran akan bahaya lingkungan hidup tersebut menyebar hingga ke tingkat PBB. Sidang umum PBB kemudian memprakarsai pembentukan INC (Intergovernmental Negotiating Committee).

Tugasnya untuk menegoisasikan draft materi untuk konvensi perubahan iklim. INC bertemu enam kali sebelum menghasilkan draft yang kemudian dibawa ke United Nations Conference on Environment and Development di Rio de Janeiro, Brazil pada tahun 1992.

Pertemuan itu dikenal juga dengan nama Earth Summit atau KTT Bumi. Hasil pertemuan tersebut menghasilkan dua keputusan penting, yaitu Konvensi PBB tentang keanekaragaman Hayati dan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang perubahan iklim. Keduanya menjadi komitmen politik dari 155 negara untuk menjaga lingkungan bumi.

Beberapa pertemuan antara negara pendukung konvensi (CoP) menghasilkan beberapa mandat yang berkaitan dengan isu lingkungan. Pada CoP ketiga yang berlangsung di Kyoto, Jepang pada 1997, melahirkan dokumen penting yang disebut Protokol Kyoto.

Protokol ini menjadi tanggungan pemerintah dan diatur dalam kesepakatan global yang dilindungi PBB. Pemerintah yang dimaksud dikategorikan lagi, yakni negara-negara Annex I, yakni negara maju yang dianggap bertanggungjawab terhadap emisi gas sejak revolusi industri, sekitar ratusan tahun silam.

Negara tersebut terdiri atas 38 negara industri maju di Eropa, Amerika Utara, Australia dan Jepang sebagai satu-satunya negara di asia yang disebut Annex I. Selain itu terdapat pula kategori negara non Annex I, yakni negara berkembang, seperti halnya Indonesia. Tidak memiliki kewajiban menurunkan emisi CO2, tetapi cukup berpartisipasi.

Negara-negara Annex I harus mengurangi emisi gas rumah kaca secara kolektif sekitar 5,2 persen dibandingkan dengan laporan pada tahun 1990. Pengurangan emisi dari enam gas rumah kaca dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008 dan 2012.

Target nasional berkisar dari pengurangan 8 persen untuk Uni Eropa, 7 persen untuk Amerika Serikat, 6 persen untuk Jepang, 0 persen untuk Rusia dan penambahan yang diizinkan sekitar 8 persen untuk Australia dan 10 persen untuk Islandia.

Batas pengurangan tersebut akan berakhir pada 2013 mendatang, dan akan dibuat target reduksi karbon yang baru. Jika pada tahun 2012 negara Annex I tidak mencapai target, selain tetap harus menutup kekurangannya, pasca 2012 negara tersebut harus membayar denda 30 persen dari berat karbon dalam Annex I.

Tetapi, Protokol Kyoto memiliki mekanisme fleksibel yang memungkinkan Negara Annex I mencapai batas emisi gasnya dengan membeli “kredit pengurangan emisi” dari negara lain yang berpotensi kurangi emisi CO2.

Pembelian dapat dilakukan dengan uang tunai atau berupa pendanaan melalui suatu proyek penurunan emisi gas buang dari negara non-Annex I melalui mekanisme CDM. Dapat juga melalui pengerjaan proyek di sesame Annex I melalui program joint implementation (JI) atau membeli langsung dari Negara Annex I yang sudah di bawah target.

Suatu proyek baru dapat dijual dalam perdagangan emisi karbon apabila sudah mendapat persetujuan dari Dewan Eksekutif CDM yang berpusat di Bonn, Jerman. Hanya dewan eksekutif yang berhak mengeluarkan akreditasi certified emission reductions (CERs) bagi sebuah proyek untuk dapat diperjualbelikan.

Negara non-Annex I yang tidak mempunyai kewajiban untuk menurunkan emisi gas buang, tapi jika mengimplementasikan proyek gas rumah kaca yang dapat menurunkan emisi, ia akan menerima kredit karbon yang dapat dijual pada negara Annex I.

Siiring waktu berjalan, negara maju dan berkembang berdebat keras tentang Protokol Kyoto dalam perundingan perubahan iklim di bawah kelompok kerja ad hoc Protokol Kyoto (Ad-hoc Working Group on the Kyoto Protocol- AWG-KP) di Bonn.

Negara anggota membicarakan Protokol Kyoto periode kedua, periode komitmen pengurangan emisi CO2 yang dilakukan negara Annex I. Dalam hal ini akan mengamandemen Protokol Kyoto Annex B menurut artikel 3.9.

Negara berkembang meminta dengan tegas amandemen secara jelas dan singkat bagi Annex B, termasuk target baru pengurangan emisi negara Annex I yang telah disetujui.

Beberapa negara maju telah mengusulkan bermacam pilihan tunggal, protokol baru yang mempersatukan tindakan di bawah konvensi dan membangun Protokol Kyoto atau memerlukan dua protokol dalam bentuk Protokol Kyoto amandemen dan protokol baru di bawah konvensi.

Usulan ini seperti pendapat atas keinginan beberapa negara maju untuk menggabungkan proses AWG-KP (proses Protokol Kyoto) dengan kerja AWG-LCA di bawah Konvensi Perubahan Iklim.

Beberapa negara maju juga menunjuk proses keduanya sebagai satu kesatuan, menyiratkan semuanya bisa disetujui. AWG-KP memandatkan pembahasan komitmen negara Annex I selanjutnya setelah periode komitmen pertama berakhir pada 2012, dan menyepakati skala pengurangan emisi yang dicapai negara Annex I selanjutnya pada Desember 2009.

Selama paripurna AWG-KP dan kelompok kerja isu legal lainnya, sejumlah negara berkembang mengatakan permintaan amandemen sederhana dan jelas hanya meminta amandemen Annex B.

Afrika Selatan atas nama Kelompok G77 dan China mengatakan seharusnya ada sedikit perubahan pada protokol. Hal pertama, menetapkan skala pengurangan emisi bagi negara Annex I dan periode komitmen kedua. Ini seharusnya diikuti refleksi komitmen individu Annex B.

Tidak ada dalam Protokol Kyoto mencegah putusan bermacam periode komitmen. Langkah selanjutnya bagi para pihak untuk meratifikasi amandemen yang akan dimasukkan.


China mengatakan, masalah tidak begitu sulit. Dokumen legal dapat disiapkan dengan memasukkan kumpulan target pengurangan emisi dan negara secara individu. Tak ada yang lebih sulit daripada ini.

Tuvalu mengatakan, bentuk Protokol Kyoto seharusnya masih dan negara anggota seharusnya tidak menulis ulang protokol dan seharusnya tidak meminta isu lain dari AWG-LCA.

Australia mengatakan, bentuk legal periode komitmen kedua untuk pengurangan emisi negara Annex I merupakan sesuatu yang serius. Juga meliputi kerja AWG-LCA dan keterkaitan dan konsistensi perlu dipastikan.

Terkait hal ini, Australia mengusulkan pilihan berikut, pilihan legal pertama terdiri tunggal, protokol baru yang menyatukan tindakan di bawah konvensi dan membangun Protokol Kyoto.

Pilihan kedua memerlukan dua protokol dalam bentuk amandemen Protokol Kyoto dan protokol baru di bawah konvensi. Jepang mengatakan, tidak dapat menjadi suatu kerangka yang efektif hanya dengan amandemen Annex B. Harus ada integrasi dengan AWG-LCA.

Jepang menyatakan pandangannya bahwa regim iklim baru harus memasukkan komitmen baik negara maju maupun berkembang. Dia mengusulkan bahwa protokol baru adalah satu pilihan yang bisa dilakukan, walaupun tidak mengatur amandemen Protokol Kyoto.

Belarus juga mengusulkan formulasi protokol baru, menggabungkan hasil AWG-KP dan AWG-LCA serta menghasilkan teks koprihensif untuk protokol baru yang dibahas dan diadopsi di Kopenhagen.

Selandia Baru mengatakan bahwa proses Kopenhagen adalah tunggal, maka keterkaitan di antara working group tidak bisa dipisahkan. Dikatakan bahwa beberapa usulan di bawah AWG-LCA akan meminta amandemen Protokol Kyoto agar menjadi efektif.

Tentang Protokol Kyoto sendiri, dikatakan bahwa sejumlah amandemen akan diperlukan. Diusulkan pula bahwa terlepas dari pemeliharaan komitmen pengurangan emisi terukur Negara Annex I dalam periode komitmen kedua, Annex B juga berisi kolom atau tabel baru yang merefleksikan komitmen periode kedua.

Diusulkan Annex C baru yang berisi komitmen para pihak selanjutnya yang tidak saat ini dalam Annex I. Republik Cekoslovakia atau EU mengatakan, para pihak seharusnya mencari sinergi sebanyak mungkin.

Tentang bentuk amandemen, EU mengatakan kami perlu menjaga teks sekarang sedapat mungkin, dan teks tambahan bagi ketentuan baru. Dia lebih menyukai penambahan kolom ketiga Annex B, tetapi tertarik untuk mempertimbangkan usulan Selandia Baru yang mempunyai Annex C, sepanjang tidak merubah komitmen alami.

Amandemen di bawah artikel 3.9 Protokol Kyoto dapat memasukkan teks yang terkait dengan hasil AWG-LCA. Sehingga komitmen selanjutnya bisa dibahas.

Usulan perdagangan emisi dan mekanisme proyek (untuk mencapai pengurangan emisi negara Annex I) dalam kelompok kerja lain di bawah AWG KP juga memerlukan amandemen Protokol Kyoto. Misalnya dalam bentuk usulan pendekatan sektor untuk mencapai pengurangan emisi. (berbagai sumber)

Gambut dan Kompensasi Pengurangan Emisi Karbon

Luas lahan gambut di Kalbar mencapai sekitar 1,1 juta hektar, paling banyak terdapat di Kabupaten Pontianak dan Kubu Raya. Lahan tersebut terletak di hutan, belukar, semak, mangrove, kebun campuran, perairan/rawa. Selain itu terdapat pula di perkebunan sawit, tanaman semusim seperti nenas, sayur-sayuran dan jagung. Lahan gambut di Kalbar juga terdapat di tegalan dan sawah. Luasan lahan gambut dimanfaatkan masyarakat ataupun pengusaha untuk mengembangkan berbagai jenis tanaman, karena lahan gambut ini dinilai cukup subur. Menurut Peneliti Konservasi dan Pengelolaan Tanah Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Departemen Pertanian RI, Fahmuddin Agus, ketika Temu Konsultasi dengan Pemprov Kalbar di Praja II Kantor Gubernur Kalbar, Selasa (20/10), kesuburan lahan gambut ditentukan beberapa keadaan dari lahan tersebut. Di antara penentu kesuburan tersebut, kata Fahmudin, dilihat dari ketebalan dan kematangan gambut, substratum bawah gambut, bahan pembentuknya, kandungan mineral dan tingkat pengayaan yang diperoleh dari limpasan air pasang. Dikarenakan kesuburannya itu, lahan gambut sangat berpotensi untuk ditanam berbagai jenis palawija, seperti jagung, singkong, ubi jalar, kacang tanah, kedelai. Dapat pula ditanami dengan cabai merah dan rawit, terong, tomat, bawang merah dan daun, nenas, melon, semangka, waloh, belimbing alpokat, duku, durian, mangga, nangka, sawo, rambutan pepaya dan salak. Selain itu, lahan gambut juga potensil untuk ditanami karet, sawit, kopi dan kelapa. Sedangkan di hutan gambut akan tumbuh jelutung, mengkudu, meranti rawa, pulau, rengas, belangeran, ramin, sungkai dan kemiri. Tetapi ketika lahan tersebut dimanfaatkan terutama yang memiliki ketebalan di atas 3 meter (di kawasan konservasi), akan banyak melepaskan (emisi) karbondioksida (CO2). Akibatnya, panas bumi semakin meningkat. Apabila pemanfaatan lahan gambut dapat dikendalikan dengan benar, maka akan sangat berpotensi mengurangi emisi CO2 sekitar 16 juta, dalam waktu 25 tahun. “Tinggal melihat komitmen semua pihak untuk memanfaatkan lahan gambut tanpa banyak menimbulkan emisi karbondioksida,” kata Fahmuddin. Kemampuan gambut mengurangi emisi karbondioksida tersebut berdasarkan hasil sementara penelitian yang dilakukan Fahmuddin Agus bersama Wahyunto, W Wahdini, dan W. Supriatna. Ruang lingkup penelitian yang mereka lakukan, yakni mengevaluasi potensi dan perubahan penggunaan lahan melalui interpretasi citra satelit di Kabupaten Pontianak dan Kubu Raya (tanah gambut) dan Sanggau (tanah mineral). Selanjutnya para peneliti tersebut mengumpulkan data dan mengecek di lapangan sejak April hingga Oktober 2009 mengenai cadangan karbon dan emisi CO2 dari berbagai tipe penggunaan lahan. Selain itu, ruang lingkup penelitian tersebut juga melakukan analisis sosial ekonomi berbagai sistem usaha tani. Untuk memastikan hasil dari penelitian tersebut para peneliti dari Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian melakukan temu konsultasi dengan Pemprov Kalbar untuk melakukan verifikasi lapangan. Di antara pejabat yang hadir dalam temu konsultasi tersebut, Kepala Bappeda Kalbar Ir H Fathan A Rasyid MAg beserta jajarannya, Dinas Perkebunan, Pertanian dan lainnya. Selain untuk verifikasi lapangan, temu konsultasi itu juga untuk menyamakan persepsi tentang fungsi lingkungan, pengelolaan lahan gambut, upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan potensi jasa penurunan emisi CO2 dari lahan gambut di Kabupaten Pontianak dan Kubu Raya. Dari penelitian tersebut terungkap, kalau luasan lahan gambut di Kabupaten Pontianak sekitar 397.129 hektar dan Kubu Raya sekitar 698.520 hektar. Menurut salah seorang Peneliti dari Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Deptan, Wahyunto, pentingnya penelitian mengenai lahan gambut ini agar menjadi bahan pertimbangan pemberian insentif kepada masyarakat untuk mengurangi emisi CO2. “Menjadi bahan negosiasi dalam perdagangan karbon, jasa mengurangi emisi karbon dapat dikompensasi dalam berbagai bentuk,” paparnya. Untuk menurunkan pelepasan (emisi) karbondioksida (CO2), dapat ditempuh dengan beberapa cara atau pendekatan. Di antaranya, dengan mengendalikan pembukaan hutan dan mencegah pembakaran hutan dan lahan gambut. “Untuk menurunkan emisi karbondioksida, pembukaan hutan harus dikendalikan, misalnya laju pembukaan hutan per tahun,” kata Wahyunto Dalam keadaan alami, hutan gambut merupakan penyimpan (net sink) dari karbon. Tetapi, bila hutan gambut dibuka, sebagian besar karbon pada biomassa tanaman akan teroksidasi menjadi karbondioksida. Selain mengendalikan pembukaan hutan, kata Wahyunto, juga diharuskan mencegah pembakaran hutan dan lahan gambut. Hal ini biasanya dilakukan ketika membuka lahan pertanian atau perkebunan. “Karena sejalan dengan terbakarnya biomassa di atas permukaan tanah, beberapa centimeter lapisan gambut juga ikut terbakar dan akan teroksidasi menjadi karbondioksida,” terangnya. Pendekatan lainnya untuk mengurangi emisi karbondioksida, kata Wahyunto, dengan mengurangi kedalaman saluran drainase di lahan gambut. Karena, apabila drainase terlalu dalam, akan terjadi pengeringan gambut yang berakibat pada peningkatan emisi karbondioksa. Apabila hutan gambut dibuka terlalu luas, menggunakan sistem bakar dan memiliki drainase yang dalam, sekitar setengah dari 200 t C/ha yang dikandung biomassa di atas permukaan tanah akan bertahan. Sedangkan setengah lainnya seringkali terbakar. Sehingga, lebih dari 10 centimeter lapisan atas tanah gambut juga ikut terbakar. Padahal dalam 10 cm tanah gambut terkandung sekitar 60 t C/ha. Dengan demikian sekitar 160 t C atau 587 t CO2/ha akan teremisi. (*)

BTC

Doge

LTC

BCH

DASH

Tokens

SAMPAI JUMPA LAGI

SEMOGA ANDA MEMPEROLEH SESUATU YANG BERGUNA