Tuesday, 10 November 2009
Gambut dan Kompensasi Pengurangan Emisi Karbon
Luas lahan gambut di Kalbar mencapai sekitar 1,1 juta hektar, paling banyak terdapat di Kabupaten Pontianak dan Kubu Raya. Lahan tersebut terletak di hutan, belukar, semak, mangrove, kebun campuran, perairan/rawa. Selain itu terdapat pula di perkebunan sawit, tanaman semusim seperti nenas, sayur-sayuran dan jagung. Lahan gambut di Kalbar juga terdapat di tegalan dan sawah. Luasan lahan gambut dimanfaatkan masyarakat ataupun pengusaha untuk mengembangkan berbagai jenis tanaman, karena lahan gambut ini dinilai cukup subur. Menurut Peneliti Konservasi dan Pengelolaan Tanah Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Departemen Pertanian RI, Fahmuddin Agus, ketika Temu Konsultasi dengan Pemprov Kalbar di Praja II Kantor Gubernur Kalbar, Selasa (20/10), kesuburan lahan gambut ditentukan beberapa keadaan dari lahan tersebut. Di antara penentu kesuburan tersebut, kata Fahmudin, dilihat dari ketebalan dan kematangan gambut, substratum bawah gambut, bahan pembentuknya, kandungan mineral dan tingkat pengayaan yang diperoleh dari limpasan air pasang. Dikarenakan kesuburannya itu, lahan gambut sangat berpotensi untuk ditanam berbagai jenis palawija, seperti jagung, singkong, ubi jalar, kacang tanah, kedelai. Dapat pula ditanami dengan cabai merah dan rawit, terong, tomat, bawang merah dan daun, nenas, melon, semangka, waloh, belimbing alpokat, duku, durian, mangga, nangka, sawo, rambutan pepaya dan salak. Selain itu, lahan gambut juga potensil untuk ditanami karet, sawit, kopi dan kelapa. Sedangkan di hutan gambut akan tumbuh jelutung, mengkudu, meranti rawa, pulau, rengas, belangeran, ramin, sungkai dan kemiri. Tetapi ketika lahan tersebut dimanfaatkan terutama yang memiliki ketebalan di atas 3 meter (di kawasan konservasi), akan banyak melepaskan (emisi) karbondioksida (CO2). Akibatnya, panas bumi semakin meningkat. Apabila pemanfaatan lahan gambut dapat dikendalikan dengan benar, maka akan sangat berpotensi mengurangi emisi CO2 sekitar 16 juta, dalam waktu 25 tahun. “Tinggal melihat komitmen semua pihak untuk memanfaatkan lahan gambut tanpa banyak menimbulkan emisi karbondioksida,” kata Fahmuddin. Kemampuan gambut mengurangi emisi karbondioksida tersebut berdasarkan hasil sementara penelitian yang dilakukan Fahmuddin Agus bersama Wahyunto, W Wahdini, dan W. Supriatna. Ruang lingkup penelitian yang mereka lakukan, yakni mengevaluasi potensi dan perubahan penggunaan lahan melalui interpretasi citra satelit di Kabupaten Pontianak dan Kubu Raya (tanah gambut) dan Sanggau (tanah mineral). Selanjutnya para peneliti tersebut mengumpulkan data dan mengecek di lapangan sejak April hingga Oktober 2009 mengenai cadangan karbon dan emisi CO2 dari berbagai tipe penggunaan lahan. Selain itu, ruang lingkup penelitian tersebut juga melakukan analisis sosial ekonomi berbagai sistem usaha tani. Untuk memastikan hasil dari penelitian tersebut para peneliti dari Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian melakukan temu konsultasi dengan Pemprov Kalbar untuk melakukan verifikasi lapangan. Di antara pejabat yang hadir dalam temu konsultasi tersebut, Kepala Bappeda Kalbar Ir H Fathan A Rasyid MAg beserta jajarannya, Dinas Perkebunan, Pertanian dan lainnya. Selain untuk verifikasi lapangan, temu konsultasi itu juga untuk menyamakan persepsi tentang fungsi lingkungan, pengelolaan lahan gambut, upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan potensi jasa penurunan emisi CO2 dari lahan gambut di Kabupaten Pontianak dan Kubu Raya. Dari penelitian tersebut terungkap, kalau luasan lahan gambut di Kabupaten Pontianak sekitar 397.129 hektar dan Kubu Raya sekitar 698.520 hektar. Menurut salah seorang Peneliti dari Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Deptan, Wahyunto, pentingnya penelitian mengenai lahan gambut ini agar menjadi bahan pertimbangan pemberian insentif kepada masyarakat untuk mengurangi emisi CO2. “Menjadi bahan negosiasi dalam perdagangan karbon, jasa mengurangi emisi karbon dapat dikompensasi dalam berbagai bentuk,” paparnya. Untuk menurunkan pelepasan (emisi) karbondioksida (CO2), dapat ditempuh dengan beberapa cara atau pendekatan. Di antaranya, dengan mengendalikan pembukaan hutan dan mencegah pembakaran hutan dan lahan gambut. “Untuk menurunkan emisi karbondioksida, pembukaan hutan harus dikendalikan, misalnya laju pembukaan hutan per tahun,” kata Wahyunto Dalam keadaan alami, hutan gambut merupakan penyimpan (net sink) dari karbon. Tetapi, bila hutan gambut dibuka, sebagian besar karbon pada biomassa tanaman akan teroksidasi menjadi karbondioksida. Selain mengendalikan pembukaan hutan, kata Wahyunto, juga diharuskan mencegah pembakaran hutan dan lahan gambut. Hal ini biasanya dilakukan ketika membuka lahan pertanian atau perkebunan. “Karena sejalan dengan terbakarnya biomassa di atas permukaan tanah, beberapa centimeter lapisan gambut juga ikut terbakar dan akan teroksidasi menjadi karbondioksida,” terangnya. Pendekatan lainnya untuk mengurangi emisi karbondioksida, kata Wahyunto, dengan mengurangi kedalaman saluran drainase di lahan gambut. Karena, apabila drainase terlalu dalam, akan terjadi pengeringan gambut yang berakibat pada peningkatan emisi karbondioksa. Apabila hutan gambut dibuka terlalu luas, menggunakan sistem bakar dan memiliki drainase yang dalam, sekitar setengah dari 200 t C/ha yang dikandung biomassa di atas permukaan tanah akan bertahan. Sedangkan setengah lainnya seringkali terbakar. Sehingga, lebih dari 10 centimeter lapisan atas tanah gambut juga ikut terbakar. Padahal dalam 10 cm tanah gambut terkandung sekitar 60 t C/ha. Dengan demikian sekitar 160 t C atau 587 t CO2/ha akan teremisi. (*)
No Response to "Gambut dan Kompensasi Pengurangan Emisi Karbon"
Leave A Reply