Sunday, 24 April 2016
Kembang Tinju Saja
KALANGAN manapun sepakat, sepakbola merupakan olahraga rakyat. Silakan bertanya kepada siapapun, dari anak-anak hingga dewasa, baik pria maupun perempuan, pasti mengetahui olahraga menendang kulit bundar ini. Terlepas dari suka atau tidak.
Tidak dapat dimungkiri, sepakbola merupakan olahraga paling populer di dunia. Tetapi sayang, sangat tidak cocok dengan Indonesia. Terbuang dari Federasi Sepakbola Internasional (FIFA) merupakan salah satu buktinya.
Bukan lantaran Indonesia tidak memiliki pesebakbola, melainkan karena filosofi dalam sepakbola itu sangat tidak sesuai dengan karakteristik rakyat Indonesia secara umum, dan pemerintahan secara khusus. Paling tidak untuk kondisi saat ini.
Sepakbola sangat mengedepankan koordinasi di semua lini. Misalnya, antarpemain, pelatih dengan pemain, sponsor dengan official atau lainnya. Bahkan ballboy atau si pemungut bola pun sangat memerlukan koordinasi.
Pesepakbola yang memiliki skill dan tugas masing-masing di lapangan, mau tidak mau, harus berkoordinasi dengan rekan setimnya yang memiliki skill dan tugas yang berbeda di lapangan. Misalnya, antara kiper dengan striker.
Selain itu, mereka yang terlibat langsung di lapangan sepakbola dengan yang tidak pun harus mengedepankan koordinasi. Misalnya, penonton dituntut untuk ikut menyukseskan pertandingan, terlepas dari timnya menang atau kalah, jangan bikin rusuh.
Apalagi pemerintah dengan ososiasi pesepakbolaan, dengan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) misalnya, juga harus mengedepankan koordinasi.
Tidak sulit untuk berkoordinasi. Tetapi terbukti tidak bisa dilakukan. Buntutnya sepakbola Indonesia keluar dari kancah dunia. Akhirnya, seperti sekarang, bikin pertandingan masing-masing dikenal dengan pertandingan Tarkam (Antar Kampung).
Nampaknya sudah saatnya menjadikan sepakbola sekedar hobi. Bukan target besar untuk dimajukan, apalagi digadang-gadang untuk mengharumkan nama Indonesia di mata dunia. Cukup. Indonesia nampaknya memang tidak bisa 'terjun' ke kancah yang mengharuskan kerja tim di atas segalanya.
Setelah 'era' badminton atau bulutangkis, nampaknya olahraga tinju sangat pas dikembangkan atau digaungkan di negeri yang membentang dari Sabang sampai Merauke ini. Minimal, sangat sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini.
Olahraga tinju dapat mengikis budaya berani karena ramai, seperti yang seringkali dipertontonkan Indonesia selama ini. Sebut saja tawuran antarpelajar, bentrok antarklub motor atau antarkomunitas lainnya.
Budaya main keroyok, rasanya makin marak. Dimeriahkan pula di media massa dan jejaring sosial. Sebenarnya memalukan, ironis justru menyeruak rasa bangga. Kedunguan yang dipublikasikan dianggap sebagai prestasi.
Budaya menindas oranglain karena memiliki sejumlah massa, kuasa, solidaritas buta dan sebagainya menjadi khas di negeri ini. Budaya seperti ini harusnya dikikis habis. Mesti ada perubahan mainset yang sangat mendasar, bahwa walau sendiri tetap harus berani.
Apabila setiap anak berlatih tinju sejak dini, maka akan lahir ksatria di dalam dan luar ring. Mereka pun akan memiliki simpanan beladiri individual untuk menjaga kesehatan, melindungi oranglain, dan jiwa kompetisi yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini.
Tidak sekedar bisa menghantarkan tinju ke wajah oranglain, mereka yang berlatih tinju juga mendapat pengertian bahwa aturan keras bukan untuk melukai fisik apalagi hati oranglain.
Di luar negeri, kepalan tinju profesional selevel belati. Berarti meninju oranglain, hukumannya sama dengan menusuk. Bila aturan seperti ini berlaku di Indonesia, maka negeri ini dipadati pemuda berbadan tegap, jagoan, namun santun dan berjiwa sportif.
Tinju merupakan olahraga individual yang sarat pencapaian diri. Untuk sukses mesti latihan keras sendiri, shadow boxing sendiri, punching bag sendiri, lari sendiri, bertanding juga sendiri.
Bukan mengandalkan oranglain untuk meraih sesuatu, seperti dalam dunia politik di Indonesia, yang rela mati-matian mencari kambing hitam untuk mendapatkan kekuasaan, atau menyanjung-nyanjung sesepuh agar orang bersimpati dengan diri.
Olahraga tinju juga sangat potensial untuk menyerap kelebihan energi anak-anak muda. Sehingga mereka tidak sibuk membuang energinya dengan nongkrong tidak jelas, keluyuran di mall, balap liar, tawuran dan sejenisnya yang kini jadi lifestyle anak-anak muda.
Pengembangan olahraga tinju juga menjadi jawaban atas merajalelanya pembangunan yang mengikis ruang terbuka hijau, ruang yang dianggap sebagai penyalur energi anak-anak muda yang berlebih, untuk jogging, bersepeda, aerobic dan lainnya.
Olahraga tinju hanya butuh sedikit ruang untuk berlatih dan bertanding. Tetapi cukup menjadi wadah menyalurkan energi. Misalnya untuk jump role, sit up, push up, back up, shadow boxing dan bentuk latihan tinju lainnya.
Selain itu, olahraga tinju juga bisa mengembalikan budaya hidup sehat dan sportif yang mulai terkikis di negeri ini. Nampak dari sudah terbiasanya main sikut, serempet dan lainnya demi meraih prestasi. Kehilangan jiwa sportif ini mungkin terpupuk dari buruknya kesehatan fisik dan jiwanya.
Andaikan, generasi muda digenjot untuk latihan dan disiplin tinju, niscaya ketika mereka bekerja di berbagai disiplin ilmu, pondasinya sudah kokoh, yakni disiplin dan sportivitas. Kalaupun terpaksa harus adu otot, minimal hanya di atas ring secara jantan, satu lawan satu. Menang atau kalah tetap berpelukan. Badan sehat, jiwa pun stabil tidak dikungkung dendam dan tipu muslihat.
Lantaran semua serba sendiri, bukan berarti olahraga tinju tidak butuh oranglain. Petinju tetap butuh pelatih, promotor, tim medis, dan lainnya. Semuanya mesti sejalan setujuan, demi kesuksesan bersama.
Jangan kira pula, olahraga tinju tidak memiliki nilai solidaritas. Hal itu sudah nampak sejarah arena bertandingnya yang berbentuk kotak. Padahal namanya 'ring' yang merujuk pada lingkaran.
Dulu, ketika masih dianggap kegiatan ilegal, ring tinju masih berbentuk lingkaran manusia (penonton). Ketika ada razia, seketika mereka membaur, sehingga samarlah mana yang petinju atau penonton. Solidaritas yang tinggi.
Harmonisasi penonton dan atlet bersatu atas nama respek. Antarpenonton dan antaratlet hormat menghormati. Hal yang sangat mendasar olahraga tinju.
Tinju bukan sekedar adu keras pukulan, namun juga olah otak untuk menguras tenaga lawan, menahan pukulannya, strategi counter punch dan combo punch. (*)
No Response to "Kembang Tinju Saja"
Leave A Reply