Sunday, 10 April 2016

Hitam-Putih Pendidikan di Indonesia

Posted on 22:11 by Mordiadi

KEPERGOKNYA penjual kunci jawaban Ujian Nasional (UN) di depan SMK Negeri 1 Pontianak, Kalbar, Senin (4/4) lalu, menambah sisi gelap pendidikan Indonesia. Apalagi jual beli ini juga melibatkan Kepala Sekolah (Kepsek) di Kabupaten Landak.

Kendati kunci jawaban yang diperjualbelikan itu hanya dua matapelajaran, yakni Bahasa Indonesia dan Geografi, sudah cukup menambah kekelaman pendidikan di negara yang membentang dari Sabang sampai Merauke ini.

Selama ini, hasil survei penilaian pendidikan internasional yang dilakukan setiap tiga tahun, sudah membuat insan pendidikan di Indonesia tertunduk malu.

Survei yang dilakukan Programme International Student Assessment (PISA) tersebut berulangkali mencatat nama Indonesia dalam kelompok peringkat terendah sejak 2000.

Penilaiannya melalui tes membaca, matematika dan ilmu alam terhadap sejumlah siswa yang berusia sekitar 15 tahun. Mereka dari sekolah di berbagai penjuru dunia. Tesnya memang nampak sederhana, tetapi selalu menempatkan Indonesia di garis 'degradasi'.

Berbagai analisa pun bermunculan. Kebanyakan pakar berpendapat, anak didik di Indonesia cenderung dimanjakan oleh proses pembelajaran. Apapun kurikulumnya, guru selalu mendominasi. Sedangkan anak didik mesti membeo saja.

Kuantitas jam belajar dinilai juga memengaruhi hasil memalukan ini. Di Indonesia, rata-rata jam belajarnya sekitar delapan jam. Bandingkan dengan di negara maju yang mencapai sekitar 14 jam.
Itu belum seberapa.

Di beberapa sekolah di Indonesia, khususnya di Kalbar, jam belajarnya hanya sekitar lima jam. Karena anak didik mesti bergantian menggunakan ruang kelas yang jumlahnya sangat terbatas.

Belum lagi, minimnya jumlah guru.
Berbagai kekurangan dalam sistem pendidikan, termasuk fasilitasnya ini, seringkali dijadikan kambing hitam rendahnya motivasi anak didik untuk belajar dan mengukir prestasi.

Hal ini ada benarnya. Lantaran anak didik cenderung membuang kejenuhannya dalam belajar dengan menjauhkan diri dari sekolah. Kafe-kafe, bahkan Tempat Hiburan Malam (THM) menjadi pilihannya untuk 'lari' dari rutinitas belajarnya.

Seburuk inikah pendidikan Indonesia? Jawabannya; Ya..bahkan lebih parah lagi, mengingat akrabnya dunia kaum intelek ini dengan kecurangan-kecurangan. Tetapi, ini hanya salah satu sisi koin pendidikan di Indonesia. Sisi koin lainnya justeru jauh bertolak belakang.

Ribuan anak didik Indonesia sibuk memperebutkan gelar terbaik di berbagai kejuaraan sains, mulai di tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional, hingga ke taraf internasional.

Banyak juga putra-putri Indonesia berkesempatan mengenyam pendidikan di luar negeri melalui jalur beasiswa prestasi dan pertukaran pelajar setiap tahunnya.

Bahkan, mereka tidak sekedar menghabiskan waktu untuk sekolah di negeri orang, melain meraih penghargaan sebagai anak didik terbaik, mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional.

Tidak dapat dimungkiri, Indonesia merupakan negara langganan juara olimpiade internasional. Hampir setiap kejuaraan akademis internasional, selalu menempatkan Indonesia dalam deretan juara.

Pernah juga seorang anak didik Indonesia mengikuti program pertukaran pelajar SMA ke Maryland dan mendapat Honor Roll (GPA 4 dari skala 4) untuk dua semester berturut-turut selama berada di sana.

Kemudian seorang mahasiswa Indonesia yang telah berhasil menyelesaikan studi program integrasi S2-S3 (normalnya diselesaikan dalam lima tahun) hanya dalam kurun 3,5 tahun di Korea Selatan.

Pendidikan di Indonesia memang laksana dua sisi koin. Satu sisi begitu kelam, tetapi di sisi lain begitu cemerlang. Keduanya tidak terpisahkan, sejalan seiring. Ironi, mengapa hal semacam ini bisa terjadi?.

Koin pendidikan ini merupakan bukti tidak meratanya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Anak didik yang berprestasi cenderung dari sekolah berkualitas, kebanyakan di Jawa. Hanya beberapa saja di pulau lainnya di Indonesia.

Kalau pun ada anak-anak daerah pelosok, terpencil, pedalaman dan perbatasan yang berprestasi, hanya kasuistik, karena kebetulan mendapat dukungan atau bimbingan dari pemerhati pendidikan yang didirikan pihak swasta atau pemerintah.

Sangat mustahil mereka bisa mengukir prestasi kalau hanya mengandalkan sekolahnya yang seperti 'belum merdeka', baik dari segi bangunan, fasilitas, maupun aksesnya. Memang ada upaya perbaikan, tetapi masih jauh dari kata merata.

Kesenjangan kualitas pendidikan antardaerah ini tentu menjadi Pekerjaan Rumah (PR) yang besar bagi pemerintah, lembaga pendidikan, guru dan orangtua. Solusi yang tepat tentu sangat diharapkan. Bukan malah kehabisan energi mengurus alat ukur untuk mengevaluasi, yakni UN.

Naskah UN, dengan pengawalan dan pengawasan yang ketat, berhasil didistribusikan hingga ke tangan anak didik. Seandainya hal serupa juga terjadi pada distribusi buku ajar dan pengajarnya, berikut fasilitas-fasilitas pendidikan, tentu tidak akan ada bedanya bersekolah di Jawa dengan di ujung negeri, sama-sama memiliki kualitas yang baik. (*)

No Response to "Hitam-Putih Pendidikan di Indonesia"

Leave A Reply

BTC

Doge

LTC

BCH

DASH

Tokens

SAMPAI JUMPA LAGI

SEMOGA ANDA MEMPEROLEH SESUATU YANG BERGUNA