Sunday, 21 February 2016
Jenggot Naga
Replika Naga yang sudah dibuat seindah mungkin, tidak bisa langsung diarak keliling kota atau kampung. Kecuali setelah ritual Naga Buka Mata pada hari ke-13 Imlek.
Ritual Naga Buka Mata dimulai dengan pembacaan mantra-matra oleh Lauya. Dilanjutkan dengan menulis mantra dengan kuas dan tinta di bagian kepala dan ekor Naga.
Kemudian Lauya membakar satu batang dupa dan memercikkan air yang sudah dimantrai ke Naga. Inilah simbol bahwa mata Naga telah dibuka dan siap untuk diarak.
Mata terbuka, Naga pun diarak menuju Panggung Kehormatan. Selama perjalanan, berbagai lokasi dikunjunginya. Saat itu, warga Tionghoa berjubel untuk menyaksikannya.
Tontonan gratis yang menakjubkan. Berpuluh-puluh atau bahkan ratusan kamera selular mengarah ke Naga. Tentunya tidak ketinggalan orang-orang yang selfie. Maklum saja, momen langka ini hanya satu tahun sekali.
Antusias warga Tionghoa menyaksikan ritual Naga Buka Mata hingga diarak, bukan sekedar untuk menikmati hiburan. Tetapi lebih dari itu. Mereka sangat berharap mendapatkan Jenggot Naga, walaupun harus berdesak-desakan.
Ya...Jenggot Naga memang menjadi target utama warga Tionghoa yang menyaksikan ritual Naga Buka Mata atau arakan Naga. Jenggot tersebut terbuat dari benang wol warna merah.
Seutas Jenggot saja sudah sangat berharga. Lantaran warga memercayainya sebagai pembawa berkah, mendatangkan rezeki yang melimpah, menjaga kesehatan dan keselamatan.
Jenggot yang diperebutkan warga tersebut dari Naga yang sudah menjalani Ritual Buka Mata. Sengaja digunting untuk dibagi-bagikan kepada warga. Tidak mengherankan warga rela meluangkan waktu dan berdesak-desakan untuk mendapatkannya.
Setelah mendapatkan Jenggot Naga, warga Tionghoa akan menempatkannya di lengan, menyimpannya di kendaraan atau lainnya. Dengan begitu, mereka yakin akan mendapat rezeki melimpah sepanjang tahun.
Keyakinan seperti ini merupakan salah satu "pendorong" bagi warga Tionghoa untuk bekerja lebih keras lagi sesuai dengan pekerjaan atau profesinya masing-masing.
Budaya yang menghasilkan sugesti untuk bekerja lebih keras ini, tentunya hanya di kalangan Tionghoa. Etnis lain belum tentu menerimanya atau bahkan menolaknya. Apalagi kalau dikaitkan dengan ajaran-ajaran agama tertentu.
Kepercayaannya memang hanya untuk warga Tionghoa. Tetapi nilai-nilai positifnya merupakan milik semua warga negara Indonesia, yakni bekerja keras untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik.
Bukan hanya warga Tionghoa yang membutuhkan Jenggot Naga untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Warga lainnya di Indonesia juga membutuhkan "Jenggot Naga". Tentunya dalam artian yang berbeda.
Bangsa Indonesia membutuhkan sugesti untuk menjadikannya bekerja keras dalam meraih kejayaan. Tidak harus Jenggot Naga dalam pengertian yang dipahami warga Tionghoa.
Sangat mendambakan "Jenggot Naga" hendaknya benar-benar merasuk dalam diri setiap individu di negeri ini. Sehingga sepanjang Tahun Monyet yang membutuhkan kegesitan, bangsa ini merasa sangat terdorong untuk meraih kejayaan dan kemajuan.
Memang semuanya akan mengalir seperti air. Tetapi alirannya haruslah deras. Agar alirannya deras, tentu membutuhkan "Jenggot Naga", sesuatu pendorong, sugesti dan semacamnya yang membudaya. (*)
No Response to "Jenggot Naga"
Leave A Reply