Saturday, 27 February 2016
Sistem Sel
"Mereka ada di mana-mana". Kalimat ini keluar spontan dari mulut seorang ibu rumah tangga yang sedang menyaksikan pemulangan warga eks Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di layar kaca.
Pemulangan warga eks Gafatar yang dilakukan beberapa kabupaten/kota di Kalbar, memang membuat sebagian besar warga terperanjat. Bagaimana bisa di dalam "senyap" mereka begitu cepat menyebar.
Bila melihat sebarannya di Kalbar, sangat jelas kalau organisasi Gafatar dibangun menggunakan sistem sel. Masing-masing selnya independen. Misalnya kelompok di Kabupaten Mempawah terpisah manajemen dengan yang di Kayong Utara, begitu pula dengan lainnya.
Kendati independen, sel-sel Gafatar tersebut sangat sinergis antara satu dengan lainnya. Sehingga terbentuk suatu jaringan yang sangat terstruktur. Apabila ada sel yang rusak, segera diperbaiki dan digantinya dengan yang baru.
Satu sel setidaknya terdapat dua hingga enam gembala yang mengatur sekitar 40 Kepala Keluarga (KK). Sel tersebut terus mengembangkan diri, sejak terbentuk hingga sekarang.
Bila melihat masa sepak terjangnya sejak masih bernama al-Qiyadah al-Islamiyah, pemimpin tertinggi Gafatar diperkirakan sudah memiliki 12 sel yang membawahi 114 sel yang membawahi 1.368 sel.
Sehingga dapat diperkirakan, jumlah kader aktif Gafatar telah mencapai 7.470 orang, belum termasuk kader pasif yang terus bergerak membentuk sel dan melakukan improvisasi. Kalau ditotalkan, patut diduga anggotanya berkisaran 40.000 hingga 60.000 orang.
Dari berbagai informasi yang dihimpun, tidak seorang pun dari orang-orang yang mengaku eks Gafatar di Kalbar ini mau menceritakan bagaimana mereka bisa menyebar dengan sangat terorganisir.
Mereka selalu berdalih hanya datang untuk berkebun dan bertani dengan uang sendiri, mengubah hidup atau turut membangun Kalbar.
Bisa jadi orang-orang yang mengaku sudah keluar dari Gafatar ini benar-benar tidak mengetahui organisasi yang diikutinya itu, dalam artian mereka ini sebagai korban. Tetapi, kemungkinan besar, memang belum saatnya mereka diberitahu. Pasalnya, masih pada fase hijrah (berpindah).
Mereka memasuki fase berpindah, karena mereka meninggalkan tempat asalnya, termasuk segala hal yang dimiliki -kecuali anak- untuk pindah dan menetap di tempat yang baru. Hal ini dapat dilihat dari kasus hilangnya dokter Rica dan anaknya.
Sebelum masuk ke fase "berpindah" ini, para anggota Gafatar tentu telah menjalani fase-fase sebelumnya. Di antaranya masuk dan belajar secara rahasia dan inklusif.
Pola rahasia seperti ini sudah pasti sangat memikat bagi kalangan terpelajar yang haus agama, tetapi tidak memiliki dasar agama sama sekali. Mereka dapat belajar "agama" di Gafatar tanpa harus malu atas statusnya sebagai orang terpelajar.
Setelah tiba saatnya, mereka pun memasuki fase berpindah. Saat masuk tempat baru, mereka memakai "topeng" Organisasi Kemasyarakat (Ormas), audensi ke sana kemari. Kemudian mereka tinggal dalam satu kamp dan "menutup diri".
Kalaupun mereka bergaul dengan warga lainnya, hanya kamuflase. Sama seperti yang mereka lakukan ketika menggelar berbagai kegiatan bakti sosial. Tetapi dalam setiap kesempatan selalu menegaskan kalau "Indonesia belum merdeka", seolah mengajak melakukan pemberontakan.
Kamuflase gerakan mereka ini cukup mumpuni. Sehingga tidak ada yang "mempertanyakan" untuk apa mereka sampai harus pindah seperti warga yang mengikuti program transmigrasi, meninggalkan keluarga, pekerjaan yang sudah mapan hanya untuk bertani dan lainnya.
Pada fase kepindahannya di Kalbar. Keberadaan mereka terkuak, menyusul banyaknya kasus orang hilang di beberapa daerah di Indonesia. Cukup menenangkan, lantaran mereka belum sempat masuk ke fase berikutnya, yakni perang. (*)
No Response to "Sistem Sel"
Leave A Reply