(Antara Nasionalisme dan Moralisme)
*Jejak Pangeran Sakti Mandraguna
Kisah Pangeran Sidang Penape begitu melegenda di masyarakat Sukadana, Kayong Utara. Tetapi, cerita rakyat yang cukup populer ini hanya banyak disampaikan dari mulut ke mulut.
Beberapa penulis mencoba menelusuri jejak-jejak dari cerita rakyat yang unik ini. Di antaranya, Drs H Gusti M Mulia yang menceritakan kisah Pangeran Sidang Penape pada 2007 dalam bukunya "Sekilas Menapak Langkah Kerajaan Tanjungpura".
Penelurusan penulis kelahiran Teluk Melano 5 Juni 1938 ini terhadap kisah Pangeran Sidang Penape dimulai dari Batu Sebugal, batu hitam yang tengahnya agak cekung seperti bekas tempat duduk.
Untuk sampai ke Batu Sebugal di Matan Kecamatan Sukadana sekarang, dapat mengikuti arus dari Kampung Sepuncak, lalu tiba di muara Sungai Matan, airnya warna hitam tetapi tetap jernih.
Di sepanjang pinggir sungai Matan masih banyak terlihat peninggalan kerajaan Matan, barupa bekas tiang dari kayu belian (besi) dan nibung, pohon yang batangnya penuh duri.
Setelah masuk lebih jauh, tibalah ke dataran yang agak tinggi, tidak jauh dari tempat tersebut terdapat Batu Sebugal yang diyakini sebagai tembunik keturunan atau anak Pangeran Sidang Penape.
Masyarakat meyakini tembunik tersebut membatu karena pengaruh kesaktian Pangeran Sidang Penape yang tiada tandingan dan menggetarkan seluruh manusia di jagad raya ini.
Pangeran Sidang Penape merupakan kakak dari Raja Sukadana, tetapi nama dari raja tersebut tidak diketahui secara pasti, karena masyarakat hanya mengenalnya sebagai adik dari Pangeran yang sakti mandraguna.
Kesaktian Pangeran Sidang Penape membuatnya mengasingkan diri, menjauh dari orang banyak dan bermukim di Gunung Lalang, sekarang masuk Kelurahan Rantau Panjang.
*Aturan Gila Seorang Pangeran
Kendati sang adik yang menjadi Raja Sukadana, aturan dan kebiasaan Pangeran Sidang Penape yang menjadi undang-undangnya. Mau tidak mau, aturan tersebut harus dipatuhi.
Dari sekian banyak aturan dan kebiasaan Pangeran Sidang Penape, hanya satu aturan yang membuat hati Raja Sukadana gundah gulana dan rakyatnya menderita, tetapi takut membantah karena kesaktian pangerannya tidak tertandingi.
Aturan tersebut paling gila dari segala aturan (mungkin paling gila di dunia) karena setiap orang yang baru menikah dilarang bersama istrinya sebelum diserahkan dan digauli Pangeran Sidang Penape. Aturan itu ditentang, tetapi tidak seorang pun yang bisa berbuat banyak.
Raja Sukadana yang hanya menahan perih, karena penderitaan tersebut dialami rakyatnya. Sementara untuk menentang atau melawan, adiknya ini tidak memiliki kemampuan melawan kakaknya yang sakti mandraguna.
Nasihat dan bujuk rayu terus menerus dilakukan Raja Sukadana untuk menyadarkan kakaknya, Pangeran Sidang Penape. Karena adat yang diberlakukan itu tidak dibenarkan dan seluruh rakyat Sukadana menolaknya.
Mendapat nasihat dari Raja Sukadana yang merupakan adiknya sendiri, justru Pangeran Sidang Penape menjadi berang. "Itu adalah aturan dan adat bagi setiap orang di daerah ini, siapa yang tidak senang silakan keluar saja," bentak Pangeran Sidang Penape.
Karena aturan tersebut tidak sanggup dihilangkan melalui nasihat dan bujuk rayu, hari demi hari jumlah penduduk Sukadana semakin berkurang. Sedikit demi sedikit penduduknya pindah ke daerah lain yang tidak memiliki aturan seperti yang diterapkan Pangeran Sidang Penape.
*Skenario Membunuh Pangeran
Nasihat tidak dipakai, bujuk rayu tidak diindahkan. Akhirnya Raja Sukadana berunding dengan seluruh menteri dan hulubalang untuk mencari jalan keluar dari permasalahan yang ditimbulkan Pangeran Sidang Penape.
Perundingan tersebut menghasilkan keputusan yang mau tidak mau harus dilaksanakan. Karena merupakan satu-satunya cara agar rakyat Sukadana tentram, tanpa harus menyerahkan istrinya untuk digauli Pangeran Sidang Penape.
Keputusan tersebut berupa penyingkiran Pangeran Sidang Penape dari Sukadana atau menghabisi nyawanya. Dengan harapan tidak ada lagi yang meminta istri setiap orang yang baru menikah, hanya untuk memuaskan nafsunya.
Raja Sukadana pun mengumpulkan seluruh panglima hulubalang pilih tanding, gagah perkasa, bernyali tinggi dan memiliki berbagai kemampuan. Di antaranya tahan banting dan pukul, kebal senjata tajam, tumpul dan berat.
Semua panglima hulubalang yang telah dipilih dari yang terhebat, diperintahkan untuk menyerang Pangeran Sidang Penape secara bersamaan, baik dari depan dan belakang, maupun kiri dan kanan.
Pertempuran dahsyat pun tidak dapat dihindari antara Pangeran Sidang Penape (seorang diri dengan tangan kosong) melawan puluhan panglima hulubang pilihan Raja Sukadana yang telah dilengkapi berbagai jenis pusaka.
Di luar dugaan, satu persatu dari puluhan panglima hulubalng mundur dan ada pula yang tidak sanggup lagi bangun dari arena pertempuran melawan Pangeran Sidang Penape.
Sedangkan Pangeran Sidang Penape tidak cidera sedikitpun, hanya keletihan luar biasa yang dirasakannya melawan puluhan panglima hulubalang terpilih itu.
Saking letihnya, saudara tua Raja Sukadana ini merebahkan tubuhnya di atas batu besar di atas gunung, kawasan tempat tinggalnya yang menjadi arena pertempuran.
*Dalam Keadaan Tidur pun Tak Bisa Dibunuh
Ketika Pangeran Sidang Penape tertidur pulas, dimanfaatkan panglima-panglima hulubalang untuk kembali menyerang abang Raja-nya tersebut. Karena itu satu-satu kesempatan (menurut mereka) bisa menghabisi pangeran "bejat" itu.
Panglima-panglima itupun menghujamkan keris, golok, tombak dan senjata pusaka lainnya berkali-kali ke tubuh Pangeran Sidang Penape yang terlentang di atas batu. Menakjubkan, jangankan luka, bangun pun tidak dari tidurnya.
Bahkan dengkuran Pangeran Sidang Penape semakin keras dan sesekali mengibas-ngibaskan tangannya, seolah menampar nyamuk yang hinggap di tubuhnya. Padahal puluhan jenis senjata dihujamkan beratus-ratus kali ke tubuhnya.
Jangankan terluka akibat senjata pusaka yang dihujamkan puluhan panglima hulubalang, sedikitpun kulit Pangeran Sidang Penape tidak tergores. Justru senjata para panglima hulubalang yang bengkok-bengkok dan patah.
Akhirnya, para panglima hulubalang itu merasa letih dan putus asa karena senjata pusakanya tidak mampu digunakan lagi untuk membunuh Pangeran Sidang Penape yang tidak bangun dari tidurnya itu.
Di tengah keheranan dan keputusasaannya, para pangling hulubalng kerajaan Sukadana itu pun kembali dan melapor ke rajanya. Dengan berat hati, mereka menyampaikan kalau titah baginda raja tidak dapat dilaksanakan.
Peristiwa mencengangkan ini membuat nama Pangeran Sidang Penape semakin tenar seantero negeri dan meluas ke kerajaan-kerajaan lainnya. Kesaktiannya yang luar biasa itu menjadi perbincangan di mana-mana.
Tetapi, Raja Sukadana beserta rakyatnya semakin gelisah karena peristiwa penyerangan yang dilakukan para panglima hulubalang tidak membuahkan hasil. Semuanya merasa khawatir, kalau peristiwa penyerangan itu akan membuat Pangeran Sidang Penape menerapkan aturan yang lebih bejat lagi.
*Pangeran Sidang Penape Tak Bergeming
Usai mengalami percobaan pembunuhan, Pangeran Sidang Penape bertanya-tanya kepada dirinya sendiri; siapakah yang memerintahkan panglima-panglima hulubalang, para pendekar yang mengeroyoknya itu.
Sepengetahuan Pangeran Sidang Penape, panglima hulubalang yang menyerangnya itu hanya patuh pada Raja Sukadana, adik kandungnya. Tetapi, dugaannya itu serasa tidak mungkin, karena adiknya begitu bijaksana dan baik kepadanya.
Untuk mengetahui kepastian siapa dalang yang berencana membunuhnya, Pangeran Sidang Penape pun menemui sang adik di istana kerajaan Sukadana.
Kedatangan pangeran sakti madraguna ini membuat kecut seluruh penghuni istana, termasuk Raja Sukadana. Khawatir Pangeran Sidang Penape mengamuk dan membunuh siapa saja yang ditemui.
Tetapi, dugaan Raja Sukadana bersama penghuni istana lainnya tidak tepat. Pasalnya, Pangeran Sidang Penape datang ke istana secara baik-baik tanpa bermaksud mengamuk apalagi membunuh. Karena kedatangannya hanya untuk menanyakan dalang percobaan pembunuhan terhadap dirinya.
Ketika Raja Sukadana telah di hadapannya, Pangeran Sidang Penape pun menyampaikan maksudnya. "Siapakah yang menyuruh panglima hulubalang itu mengeroyokku dan mencoba membunuhku," tanyanya.
Sontak, dada Raja Sukadana bergetar, karena takut akan kemurkaan Pangeran Sidang Penape, kalau mengetahui dalang percobaan pembunuhan yang menghebohkan seantero negeri itu adalah dirinya.
Kendati perasaan takut menyelimuti hati, tidak menjadikan Raja Sukadana seorang pendusta. "Akulah Bang," katanya menjawab pertanyaan Pangeran Sidang Penape.
Mendengar jawaban Raja Sukadana itu, Pangeran Sidang Penape keheranan dan kembali bertanya. "Mengapa kau ingin membunuhku, Abangmu sendiri," katanya.
Raja Sukadana pun menceritakan latar belakang rencana pembunuhan terhadap Pangeran Sidang Penape, yakni tidak sanggup lagi melihat dan mendengar keluhan rakyatnya terhadap aturan yang diberlakukan; menyerahkan istri yang baru dinikahi kepada pangeran.
"Kalaulah Abang mau memperistri banyak gadis, aku bisa mencarikannya, yang tercantik sekalipun. Asalkan tidak memberlakukan aturan yang menyusahkan rakyatku itu," kata Raja Sukadana.
Janji adiknya itu tidak membuat Pangeran Sidang Penape luluh. "O..., tapi bukan itu yang aku inginkan. Aku tidak perlu istri yang banyak dan cantik-cantik, tapi aku ingin adat aturan ini berlaku sepanjang hidupku," tegasnya.
Usai berkata demikian, Pangeran Sidang Penape langsung kembali ke gunung. Sementara adiknya, Raja Sukadana kembali mengeluhkan tingkah abangnya yang menyebabkan jumlah penduduk Sukadana semakin berkurang setiap hari.
*Bunuh Pangeran dengan Cara "Halus"
Raja Sukadana pusing tujuh keliling menghadapi Pangeran Sidang Penape, karena bujukan dan kekerasan tidak berguna lagi. Kebiasaan "Mencicipi" istri orang lain terus dilakukan saudaranya. Terpaksa, cara halus digunakan untuk melenyapkan pangeran yang menyengsarakan para suami itu.
Untuk melakukan cara halus tersebut, Raja Sukadana memanfaatkan kemampuan dua sahabatnya, Alap Alap dan Olop Olop. Keduanya ditugaskan menghabisi nyawa Pangeran Sidang Penape secara diam-diam.
Dipilihlah tengah malam Jumat untuk menghabisi nyawa Pangeran Sidang Penape. Bukannya dengan bertarung di tempat terbuka seperti yang pernah dilakukan panglima-panglima hulubalang sebelumnya, Alap Alap dan Olop Olop akan menyelinap untuk melaksanakan tugasnya, membunuh saudara tua Raja Sukadana itu.
Ketika penduduk sedang lelap dibuai mimpi di malam yang gelap dan sepi, Alap Alap menjelma menjadi seekor kunang-kunang. Selanjutnya terbang menembus kegelapan malam yang dihiasi suara hewan dan desiran angin.
Alap Alap yang telah menjadi kunang-kunang itu terbang menuju peraduan Pangeran Sidang Penape. Setibanya di rumah abang Raja Sukadana itu, kunang-kunang sakti itu pun hinggap di tabir jendela.
Alangkah kagetnya Alap Alap (Si Kunang-kunang) karena belum saja menguncupkan sayapnya, tiba-tiba terdengar suara dehem Pangeran Sidang Penape dan menyapanya dengan lembut. "Kaukah itu Lap," tanya pangeran sakti mandraguna itu.
Tanpa bisa berkelit (walaupun telah menjelma menjadi kunang-kunang), Alap-alap menyahuti sapaan Pangeran Sidang Penape. "Benar pengeran," katanya terbata-bata.
Pengeran Sidang Panape pun kembali bertanya, siapakah gerangan yang menyuruh Alap Alap, tetapi dijawab ramai orang yang menyuruhnya. "Nah, sekarang pulanglah," singkat pangeran yang semakin populer itu.
Tanpa basa-basi lagi, Alap Alap pun terbang kembali pulang dan menyampaikan usahanya yang gagal membunuh Pangeran Sidang Penape kepada Raja Sukadana.
Selanjutnya giliran Olop Olop yang akan melaksanakan tugasnya membunuh Pangeran Sidang Penape. Teman Alap Alap ini pun menjelma menjadi seekor kucing hitam. Tetapi, baru saja tiba dibendul pintu, kedatangannya sudah diketahui si empunya rumah yang menjadi sasaran pembunuhan.
"Apalagi kerja kau Lop, balik sajalah dan tidak usah datang-datang lagi kemari," kata Pangeran Sidang Penape kepada Olop yang terkejut bercampur takjub akan kesaktikan pengeran kerajaan Sukadana itu.
Sama halnya dengan Si Kunang-kunang, Olop Olop (Si Kucing Hitam) pun pulang mengadu ke Raja Sukadana, kalau tugasnya gagal dilaksanakan, karena ketahuan lebih dulu.
*Para Pendekar Banyak yang Takluk
Suatu ketika, datanglah seorang perantau Bugis yang ingin mengukur kesaktian Pangeran Sidang Penape. Karena pangeran Sukadana itu telah menjadi buah bibir di berbagai kerajaan.
Perantau Bugis itu pun menikahi gadis Sukadana dan tidak menyerahkan istrinya kepada Pangeran Sidang Penape di Gunung Lalang. Alhasil, penduduk Sukadana menjadi heboh, karena belum pernah yang berani melakukan hal tersebut.
Tidak seorang pun penduduk dapat membayangkan kemurkaan Pangeran Sidang Penape terhadap ulah Perantau Bugis yang tidak memenuhi adat yang dibuat saudara tua Raja Sukadana.
Sementara itu, kendati tinggal di Gunung Lalang, Pangeran Sidang Penape mengetahui dengan pasti siapa yang enggan melaksanakan aturan yang dibuatnya.
Pangeran Sidang Penape pun turun gunung. Dengan gaya khasnya, saudara tua Raja Sukadana ini berjalan perlahan menuju tempat tinggal Perantau Bugis bersama istri barunya.
Rakyat yang melihat Pangeran Sidang Penape berlenggang dari gunung pun segera menepi. Di samping diselimuti rasa takut, rakyat jelata itu pun terkagum-kagum dengan ketampanan dan senyuman pangerannya.
Kendati usia Pangeran Sidang Penape saat itu telah lebih lima puluh tahun, tetap saja kelihatan muda dan segar. Senyuman dan kerlingan matanya selalu memikat gadis-gadis Sukadana.
Setibanya di tujuan, Pangeran Sidang Penape pun menyapa Perantau Bugis dengan ramah. "Apa kabar rang dagang," katanya kepada orang yang telah petantang petenteng akan mengakhiri aturannya.
Perantau Bugis sempat terkesima dengan kewibawaan Pangeran Sidang Penape yang berdiri di depan pintu rumahnya. "Baik saja Pangeran," jawabnya.
Pangeran Sidang Penape pun menatap tajam dan dalam kepada Perantau Bugis seolah menahan amarah yang siap dilepaskan. "Tahukah rang dagang adat di sini," tanya Pangeran.
Perantau Bugis berpura-pura tidak tahu. Sehingga suara Pangeran Sidang Penape semakin meninggi, "Belum tahu katamu," sergah pria tidak beristri ini.
Pangeran Sidang Penape pun menjelaskan aturan yang dibuatnya. Tetapi Perantau Bugis itu tidak mau malaksanakannya, karena adat itu menghina dan merendahkan orang lain.
Perang mulut pun tidak dapat dielakkan, karena Perantau Bugis masih bersikukuh tidak mau melaksanakan aturan yang dibuat Pangeran Sidang Penape. Tiba-tiba terdengar suara lantang. "Langkahi dulu mayatku baru kau boleh mengambil istriku," kata Perantau Bugis lantang.
Pangeran Sidang Penape bukannya kaget, tetapi langsung melangkah masuk ke rumah. Melihat hal itu, dengan geram Perantau Bugis menghujamkan badiknya (cudik) berkali-kali ke tubuh Pangeran Sidang Panape. Kendati tepat sasaran, tidak menyebabkan luka sedikitpun.
Tanpa menghiraukan hujaman badik, Pangeran Sidang Penape memangkul istri Perantau Bugis ke luar rumah untuk di bawah ke Gunung Lalang, tempat peraduannya.
Perantau Bugis itu pun menghentikan hujamannya, karena badik di tangannya tinggal gagang. Badannya pun lunglai, sementara orang yang diserang tidak bergeming sedikitpun.
Setelah Perantau Bugis putus asa melakukan aksi konyolnya, Pangeran Sidang Penape menurunkan perempuan yang dipangkul agar dapat mengiringinya menuju peraduan.
*Belanda Tantang Pangeran Sidang Penape
Kesaktian Pangeran Sidang Panape kian populer seantero negeri. Tapi hal tersebut tidak menciutkan nyali kompeni Belanda yang ingin menjajah bumi pertiwi. Bahkan nekat menantang Pangeran Sidang Penape.
Ketika Belanda menginjakkan kakinya di Sukadana, masyarakat menganggap hal itu biasa. Karena kedatangan bangsa penjajah itu dengan baik, sehingga masyarakat tidak mengira akan mencaplok kerajaan Sukadana.
Tetapi, tiba-tiba Belanda mengultimatum Raja Sukadana untuk menyerahkan kekuasaannya. Kecuali kalau ada manusia yang sanggup menahan peluru meriamnya.
Raja Sukadana tentu saja tidak punya pilihan lain, karena untuk melawan serdadu Belanda, tentaranya yang tidak terlalu banyak dan tidak akan mampu menandingi kecanggihan peralatan penjajah tersebut.
Akhirnya, dipanggillah Pangeran Sidang Penape untuk memenuhi tantangan Belanda. Mendapat tantangan seperti itu, tidak membuat gentar pangeran yang "dibenci" rakyat Sukadana itu.
Ketika Pangeran Sidang Panape turun dari peraduannya di Gunung Lalang, rakyat telah berkumpul di tempat yang ditentukan untuk duel dengan Belanda. Harap-harap cemas pun terlihat dari wajah para penduduk, khawatir pengerannya itu celaka.
Setibanya Pangeran Sidang Penape, rakyat Sukadana memandangnya dengan rasa iba. Kendati pangerannya itu membuat aturan yang menyengsarakan rakyat, tetapi mereka tetap mencintainya, karena rela berkorban demi bumi pertiwi.
Duel antara Pangeran Sidang Penape dengan Belanda bukan orang per orang. Tetapi pengeran Sukadana itu diminta meletakkan telinganya di depan meriam untuk diledakkan.
Dengan tenang Pangeran Sidang Penape berdiri di moncong meriam Belanda dan mendekatkan telinganya. Melihat hal tersebut Raja Sukadana beserta rakyatnya semakin berdebar-debar, khawatir "pahlawannya" celaka.
Setelah mendapat aba-aba, meriam pun disulut dan mengeluarkan dentuman keras serta asap yang mengepul yang membuat Pangeran Sidang Penape tidak terlihat. Hal itu membuat deraian air mata mengalir dari ratusan pasang mata yang menyaksikannya.
Tetapi, di luar dugaan serdadu Belanda dan rakyat Sukadana, setelah asap menipis, tampak Pangeran Sidang Penape masih berdiri tegak tanpa luka sedikit pun sambil sesekali mengibaskan pakaiannya yang berdebu akibat peluru meriam. Rakyat Sukadana pun riang gembira menyaksikan peristiwa menakjubkan itu.
Usai mengunjukkan kebolehannya, Pangeran Sidang Penape langsung kembali ke tempat tinggalnya di Gunung Lalang. Sementara Belanda pun bertolak menggunakan kapal meninggalkan Sukadana.
Dari atas Gunung Lalang, Pangeran Sidang Penape menyaksikan kapal Belanda meninggalkan Sukadana, serta merta dia menjadi berang dan berteriak sekeras-kerasnya hingga terdengar semua orang. "Kenapa penjajah itu dibiarkan pergi, tembak...tembak mereka," lantangnya.
Lalu Pangeran Sidang Penape kembali menuruni gunung. Sementara di bawah Raja Sukadana beserta rakyatnya terperanjat mendengar teriakan itu dan berkumpul menunggu kedatangan pangeran Sukadana.
Setibanya di bawah, Pangeran Sidang Penape kembali berseru untuk menembak kapal Belanda. Dikarenakan kapal tersebut sudah terlalu jauh, Raja Sukadana pun tidak bisa memerintahkan prajurit untuk menembaknya dengan meriam.
Pangeran Sidang Penape pun semakin berang dan segera mengambil meriam serta menembak kapal-kapal Belanda itu. Satu persatu kapal Belanda beserta serdadu di dalamnya tenggelam terkena tembakan.
*Panggung Besar untuk Upacara Pengorbanan
Usai Pangeran Sidang Penape menenggelamkan kapal-kapal Belanda, berita kesaktiannya semakin meluas. Tetapi, aturan semula tetap berlaku dan menyengsarakan rakyat Sukadana.
Kendati telah berjasa melumatkan kompeni Belanda, tidak membuat Raja Sukadana berhenti berpikir untuk melenyapkan Pangeran Sidang Penape. Seluruh hulubalang dihimpun untuk mencari jalan keluar tanpa harus menjatuhkan korban.
Dari musyawarah Raja Sukadana beserta hulubalangnya itu menghasilkan mufakat untuk melenyapkan Pangeran Sidang Penape. Tetapi tanpa harus bergaduh agar tidak jatuh korban.
Pasca musyawarah, penghuni istana mulai sibuk, para hulubalang menjalankan tugasnya masing-masing, seolah-olah akan diadakan pesta besar-besaran. Panggung kehormatan pun dibangun di depan istana dengan dua tiang serinya berjarak hampir dua meter.
Panggung kehormatan itu disertai perlengkapannya yang akan digunakan pada hari yang telah diperhitungkan ahli nujum. Setibanya pada hari yang diterawang sangat tepat diadakan upacara, diundanglah Pangeran Sidang Penape.
Rakyat Sukadana sudah tumpah ruah di depan istana, kerena ingin menyaksikan perhelatan besar yang jarang sekali terjadi di negerinya itu. Sementara para hulubalang bersegera menjemput Pangeran Sidang Penape di Gunung Lalang.
Setibanya di gerbang istana, Pangeran Sidang Penape merasa heran melihat suasana di halaman depan istana yang dihiasi sedemikian rupa. Hamparan permadani laksana padang rumput yang hijau cemerlang, umbul-umbul berwarna-warni dan janur kuning.
Biasanya persiapan seperti itu hanya dilakukan untuk perhelatan besar, di antaranya pernikahan, pemakaman raja, penyambutan tamu kehormatan atau upacara pengorbanan.
Walaupun intuisi Pangeran Sidang Penape menggambarkan sesuatu yang tidak baik, tidak menyurutkan langkahnya memenuhi undangan adiknya. Karena menurutnya, tidak mungkin Raja Sukadana berniat lain terhadap dirinya setelah berhasil menenggelamkan kompeni Belanda.
Ketika pikiran Pangeran Sidang Penape sedang berkecamuk, tiba-tiba bergemalah genderang menyambut kedatangannya. Raja Sukadana yang mengenakan pakaian adat kebesarannya turun menyongsong Abangnya.
Kedua bersaudara itupun langsung berpelukan cukup lama, menggambarkan betapa eratnya rasa persaudaraan di antara keduanya. Tanpa sempat berkata-kata, keduanya pun berjalan berdampingan diiringi hulubalang dan penghuni kerajaan lainnya menuju panggung kehormatan di halaman istana.
*Pengorbanan Penjahat Kelas Kakap
Panggung kehormatan yang berdiri megah di halaman Istana Sukadana, biasanya dibangun untuk mengorbankan penjahat kelas kakap. Hal tersebut menjadi adat istiadat yang dilakukan turun temurun.
Ketika berjalan ke bangsal istana dengan diiringi Raja dan para pejabat Istana, Pangeran Sidang Penape masih belum mengetahui siapakah gerangan penjahat yang akan dikorbankan dengan perhelatan yang begitu besar itu.
Pangeran Sidang Penape menanyakan hal tersebut. "Perhelatan ini begitu besar, siapakah penjahat yang akan dikorbankan," tanyanya seraya menatap dalam-dalam wajah adiknya, Raja Sukadana.
Mendapat pertanyaan itu, Raja Sukadana pun menundukkan kepala dan menjawab dengan nada yang sangat berat seolah-olah ada yang mengganjal di lehernya. "Abanglah," singkatnya.
Bagaikan disambar petir di siang bolong, Pangeran Sidang Penape benar-benar tidak percaya atas ucapan adiknya itu. "Sampai hati benar kau dik, mengorbankan abangmu sendiri," lirihnya.
Sambil menahan perih di hati mendengar ucapan Raja Sukadana yang merupakan adik kandungnya sendiri, Pangeran Sidang Penape menerima keinginan tersebut dengan senang hati. "Kalaulah memang itu yang kau inginkan, ehm.. baiklah aku terima dengan senang hati," katanya.
Ucapan Pangeran Sidang Penape yang mengiba diri itu membuat Raja Sukadana hampir mengucurkan air mata. Karena di dalam benaknya berkecamuk, memilih cinta kasih kepada abangnya atau rakyatnya. Sehingga tidak sepatah kata pun yang terucap darinya.
Di tengah berkecamuknya pikiran Raja Sukadana dan kesalnya Pangeran Sidang Penape, tanpa disadari mereka sudah tiba di depan tangga Panggung Kehormatan, tempat pengorbanan itu.
Sambutan meriah dari rakyat dan para hulubalang membuyarkan pikiran Raja Sukadana dan Pangeran Sidang Penape. "Hidup yang mulia Raja,, hidup Pangeran," teriak para hulubalang bersamaan dengan penduduk Sukadana.
Berbagai jenis makanan dan minuman pun disajikan kepada Raja Sukadana dan Pangeran Sidang Penape. Untuk sejenak, kekalutan pikiran dua bersaudara itu sirna. Tetapi kembali menegang setelah menteri menghadap untuk menyampaikan waktu pengorbanan telah tiba.
Raja Sukadana merasa tidak tega menjatuhkan pengorbanan terhadap abangnya, Pangeran Sidang Penape, karena hal itu dirasakannya sama saja menguhukum mati diri sendiri. Lidahnya tidak mampu mengucapkan kata untuk menjawab pemberitahuan menterinya.
Ternyata rakyat Sukadana, juga belum mengetahui siapa gerangan yang akan dikorbankan. Tetapi mereka sudah dapat mengira karena melihat raut wajah Rajanya yang murung. Tidak dapat dibayangkan kalau yang dikorbankan itu Pangeran Sidang Penape yang telah berjasa mengusir bangsa penjajah.
Seorang pahlawan yang menyelamatkan bumi pertiwi dari penjajah, harus mati bersimbah darah dengan tubuh hancur di Panggung Kehormatan yang kokoh beralaskan permadani hijau. Mati sebagai penjahat di hadapan rakyat Sukadana.
Raja Sukadana masih menimbang-nimbang keputusan terakhirnya, membatalkan pengorbanan atau melaksanakannya. Tetapi dengan tegas raja berucap lantang, "Laksanakanlah".
Upacara pengorbanan pun dimulai. Seluruh para hulubalang sudah siap dengan senjata pusaka berupa keris, golok, badik yang diselipkan di pinggang. Mata mereka melotot tajam memperhatikan gerak gerik Pangeran Sidang Penape yang sedang duduk di samping Raja Sukadana.
Menteri Sukadana pun mempersilakan seluruh penduduk Sukadana untuk berdiri. Pangeran Sidang Penape diminta berdiri di tengah Panggung Kehormatan yang telah dikelilingi puluhan panglima hulubalang yang gagah perkasa.
Dengan gaya yang tenang dan berwibawa, berdirilah Pangeran Sidang Penape diiringi adiknya menuju tiang seri Panggung Kehormatan. Tiba-tiba saja suasana menjadi tegang, debaran jantung para penglima hulubalang semakin kencang, muka memerah lalu pucat pasih.
*Pangeran Sidang Penape Gagal Dikorbankan
Setibanya Pangeran Sidang Penape di antara tiang seri Panggung Kehormatan, menteri Sukadana pun memintanya untuk merentangkan kedua tangan. Hal itu dilakukan abang Raja Sukadana itu dengan senang hati.
Setelah kedua tangan Pangeran Sidang Penape menyentuh tiang seri Panggung Kehormatan, para panglima hulubalang yang sudah berdiri di sekeliling tiang seri, dengan sigap menangkap tangan pangeran Sukadana itu dan mengikatnya di masing-masing tiang seri.
Genderang perang pun ditabuh, gong mengalun bersahut-sahutan pertanda upacara pengorbanan telah dimulai.
Layaknya perang besar, para panglima hulubalang berteriak sambil menghujamkan senjatanya masing-masing ke tubuh Pangeran Sidang Penape yang berdiam diri tidak memberikan perlawanan.
Rakyat Sukadana yang berdesakan menyaksikan pengorbanan itu menjadi lengang dan meninggalkan prosesi pengorbanan. Karena tidak tega menyaksikan pembunuhan itu.
Beberapa orang tidak mampu membendung air matanya, karena rasa kemanusiaannya tidak membenarkan perlakuan yang ditimpakan ke Pangeran Sidang Penape.
Raja Sukadana pun membalikkan badannya, karena tidak ingin menyaksikan prosesi pengorbanan terhadap saudara kandungnya.
Di benaknya telah terbayang kalau tubuh Pangeran Sidang Penape luluh lantak, tergeletak bersimbah darah dihantam senjata pusaka para panglima hulubalang.
Tetapi, kendati tidak melihat prosesi pengorbanan, telinga Raja Sukadana mendengar dentingan dan dentuman seolah besi beradu besi. Dia pun segera membalikkan badannya dan melihat prosesi pengorbanan.
Mata Raja Sukadana terbelalak melihat kejadian di depannya. Pakaian Pangeran Sidang Penape hangus dan hancur dihantam pusaka turun temurun milik para panglima hulubalang. Tetapi tubuhnya tidak tergores sedikitpun.
Kejadian tahun-tahun sebelumnya terulang kembali. Semua senjata pusaka yang ditikamkan, tidak mampu menggores kulit Pangeran Sidang Penape, apalagi membunuhnya.
Bahkan kondisi senjata pusaka milik para penglima hulubalang sangat memprihatinkan, karena bengkok dan patah berkeping-keping.
Tubuh Pangeran Sidang Penape kaku dan keras seperti baja. Senjata pusaka yang menyentuh tubuhnya menimbulkan percikan api, seolah besi yang dihantamkan dengan besi.
Ratusan kali tikaman dialamatkan ke tubuh Pangeran Sidang Penape, tetapi tidak membuahkan hasil. Akhirnya, para panglima hulubalang lesu darah dan mulai menjauhkan diri. Selain karena senjatanya pusakanya telah rusak, juga takut Pangeran Sidang Penape membalasnya.
Keringat bercucuran di tubuh para panglima, rasa letih pun mendera seluruh tubuhnya. Upaya untuk mendapatkan balasan jasa atas keberhasilan membunuh Pangeran Sidang Penape tinggal sebatas harapan. Karena senjata yang sudah ditempah sedemikian rupa tidak mampu melukai saudara tua Raja Sukadana itu.
*Pangeran Sidang Penape Menangis
Tetapi, Pangeran Sidang Penape bukannya gembira atau congkak karena tidak seorang pu yang berhasil menghabisi nyawanya. Abang Raja Sukadana ini malah bersedih, air matanya meleleh membasahi pipi. Tidak ubahnya anak kecil yang dipukul orangtuanya.
Bukannya sakit karena dihujam senjata tajam, Pangeran Sidang Penape menangis karena tidak menyangka adik kandung yang begitu disayangi, ternyata menginginkan kematiannya. Sehingga pria tangguh itu tidak sanggup lagi membendung air matanya.
Pangeran Sidang Penape tidak habis pikir, adiknya (seorang raja yang bijaksana dan begitu menyayanginya" bermaksud menghabisi nyawa saudara kandungnya di Panggung Kehormatan, suatu tempat untuk mengorbankan para penjahat.
"Adikku... mengapa engkau tega mau menghabisi nyawa Abangmu," katanya lirih seraya menatap Raja Sukadana yang terpaku di tempatnya menyaksikan prosesi pengorbanan.
Raja Sukadana pun kelimpungan mendengar ucapan Pangeran Sidang Penape. Tiba-tiba saja suasana menjadi hening, tidak seorang pun yang berani mengeluarkan suara.
Para panglima hulubalang yang tadinya memiliki semangat membunuh, ikut terpaku melihat ksatria sejati di hadapannya meneteskan air mata.
Sementara itu, Raja Sukadana bertambah bingung menjawab pertanyaan dari abangnya. Dengan suara berat dan terbata-bata dia berkata.
"Maafkan aku kakanda, hal ini kulakukan demi penduduk Sukadana yang sudah tidak sanggup lagi menaati adat yang Abang berlakukan, karena adat itu bertentangan dengan rasa kemanusiaan," terangnya.
Usai berkata demikian, Raja Sukadana langsung terdiam, karena tidak sanggup melihat tetesan airmata abang kandungnya yang semakin menjadi-jadi, seolah tumpah begitu saja dari matanya.
Mendengar jawaban adiknya, Pangeran Sidang Penape hanya menggeleng-gelengkan kepala, merasa tidak percaya atas jawaban yang dilontarkan saudara kandungnya.
"Baiklah...baiklah...kalau adik memang mengingikan kematianku, aku tidak bisa mengelak lagi. Mungkin memang sudah suratan takdir kalau aku mati di tangan adik kandungku sendiri," katanya.
*Pangeran Sidang Penape "Buka Kartu"
Kesalahan terkadang baru disadari setelah orang lain memiliki keinginan yang kuat untuk menyadarkannya. Hal itulah yang terjadi pada Pangeran Sidang Penape. Kebulatan tekad Raja Sukadana membuatnya menyadari kesalahan yang dilakukan.
Pangeran Sidang Penape menarik napas dalam-dalam. Selanjutnya berkata kepada adiknya. "Apalah artinya aku hidup bila adikku sendiri membenciku. Agaknya ajalku pun sudah dekat," lirih pangeran sakti mandraguna itu berusaha menegarkan hatinya.
Raja Sukadana hanya terpaku dengan wajah yang tidak berseri sama sekali. Orang nomor satu di Kerajaan Sukadana itu pun berlutut dan memeluk kaki abangnya, meratap dan menangis seraya meminta maaf kepada saudara tuanya itu.
"Ampun Bang....ampun, ampunilah kesalahanku," kata Raja Sukadana tanpa bisa berucap banyak dan air matanya mengalir deras di pipi.
Berat lidahnya berkata-kata karena tertekan perasaan atas segala perbuatannya yang melukai, menghancurkan hati dan perasaan abangnya.
Pangeran Sidang Penape pun dengan bijaksana berusaha menghibur adiknya. "Sudahlah...sudahlah adikku. Karena ajalku pun memang sudah tiba. Janji akhir telah diputuskan, suratan telah ditentukan, takdir sudah menunggu, aku harus mati di tanganmu sendiri," katanya.
Kendati harus mati di tangan adiknya, Pangeran Sidang Penape telah memaafkan perlakukan Raja Sukadana terhadapnya. "Aku mengerti kau tidak akan sampai hati melakukan ini, tetapi demi rakyatmu, demi kerajaanmu, ini harus kau lakukan," tegasnya.
Pangeran Sidang Penape menyadari selama ini selalu mementingkan diri sendiri, memenuhi perintah nafsu tanpa memikirkan perasaan orang lain.
"Itu pun aku terima, karena sudah suratan lahir dan pintaan badan," tuturnya dengan lancar, teratur dengan wajah yang tampak tenang.
Raja Sukadana pun terisak-isak, tangisnya perlahan-lahan mulai mereda. Pelukan di kaki abangnya pun dilepas dan berdiri seraya merangkul Pangeran Sidang Penape. Di tubuh abangnya, Raja Sukadana kembali menangis.
Ketika ayahandanya meninggal dunia, hanya air mata perpisahan yang mengalir, karena orang yang sangat dihormatinya itu meninggal secara wajar akibat lanjut usia. Tapi kini, abangnya harus mati di tangannya sendiri, atas permintaan Pangeran Sidang Penape.
Suasana menjadi hening, yang terdengar hanya tangis Raja Sukadana. Tiba-tiba Pangeran Sidang Panape berucap. "Ambillah keris di bawah bantalku. Keris itu tidak bergagang, buatlah gagangnya dari tebu. Aku tidak akan mati oleh senjata pusaka apapun, kecuali dengan keris pusaka itu. Ambillah...," perintahnya.
Dengan suara yang berat dan perlahan, Pangeran Sidang Penape melanjutkan kata-katanya. "Jangan kau tikamkan keris pusaka itu ke tubuhku. Tetapi goreskan saja di tepi telingaku. Setelah itu baringkan aku di peraduan dengan dijaga seorang perawan, sebagai istriku yang terakhir," pintanya.
*Matinya Seorang Pangeran Sakti Mandraguna
Raja Sukadana pun segera memerintahkan dua orang prajuritnya mengambil pusaka tidak bergagang (seperti yang disebutkan Pangeran Sidang Penape). Dua orang lagi diperintahkan membuat gagang keris dari tebu.
Tidak sampai satu jam, suruhan Raja Sukadana sudah kembali membawa keris pusaka milik Pangeran Sidang Penape yang disimpan di bawah bantal. Gagang keris pun telah dibuat dari tebu.
Segera saja, keris pusaka berwarna cokelat tua yang belum bergagang dan gagang dari tebu diserahkan ke Raja Sukadana. Selanjutnya, gagang tersebut dipasang ke keris dari besi tua itu.
Sesuai arahan Pangeran Sidang Penape yang memberikan cara menghabisi nyawanya, Raja Sukadana pun menggoreskan keris pusaka bergagang tebu di dekat telinga abangnya itu.
Perlahan tapi pasti, darah berwarna putih mengalir dari dekat telinga Pangeran Sidang Penape. Tubuh yang gagah perkasa, berotot dan tidak pernah terluka itu pun mulai lunglai.
Melihat keadaan tersebut, Raja Sukadana pun dengan sigap menangkap tubuh Pangeran Sidang Penape, diikuti para panglima hulubalang. Beberapa pengawal istana Sukadana pun menyelimuti tubuh pangeran sakti mandraguna itu dengan selimut tebal.
Hulubalang lainnya pun terburu-buru membawa tandu beratap kain warna kuning keemasan yang tiap pinggirnya memiliki renda. Di dalamnya tersedia kasur empuk berseprai indah.
Tubuh Pangeran Sidang Penape yang kian lesu dimasukkan secara perlahan ke tandu kerajaan itu. Delapan para hulubalang segera mengangkat tandu yang di dalamnya telah terbaring seorang pangeran yang tidak berdaya.
Dengan suasana hening yang kian mencekam, tandu kerajaan berjalan perlahan diiringi Raja Sukadana, para menteri, pejabat kerajaan dan ratusan hulubalang.
Semua wajah tertunduk lesu dan air mata mengalir dari beberapa pasang mata yang mengiringi Pangeran Sidang Penape.
Cukup panjang perjalanan rombongan yang membawa Pangeran Sidang Penape menuju Gunung Lalang, tempat peraduan sekaligus tempat peristirahatan menuju kematian abang Raja Sukadana itu.
Setibanya di gerbang tempat Pangeran Sidang Penape bertapa di Gunung Lalang, tandu kerajaan diturunkan.
Beberapa hulubalang pun mengusung tubuh dalam selimut tebal yang mulai basah terkena darah warna putih yang keluar dari luka goresan di dekat telinganya.
Kemudian tubuh Pangeran Sidang Penape dibaringkan di tempat tidur. Sesuai wasiatnya, seorang perawan pun diperintahkan untuk menemaninya.
Tiga hari tiga malam, perawan yang menemani Pangeran Sidang Penape di dalam kamar tidak memberi kabar. Para panglima hulubalang dan dayang-dayang istana pun bergiliran menjaga rumah di Gunung Lalang itu.
Tepat pada akhir di hari ketiga, Si Perawan (yang mungkin tidak perawan lagi) memberitahukan kepada para hulubalang, bahwa saudara tua Raja Sukadana telah meninggal dengan tenang di pangkuan wanita terakhir yang menemaninya itu.
*Dimanakah Keturunan Sebugal?
Kematian Pangeran Sidang Penape di pangkuan perempuan terakhir yang menemaninya, membuat seluruh penduduk Sukadana bersedih. Masyarakat telah melupakan aturan atau adat yang membuat mereka sengsara selama ini.
Kesedihan pun memuncak ketika prosesi pemakaman Pangeran Sidang Penape. Dari para pejabat istana hingga rakyat jelata menangisi kepergian pangeran yang berhasil meneggelamkan kapal-kapal Kompeni Belanda itu.
Proses pemakaman yang dilaksanakan dengan adat kebesaran kerajaan itu merupakan akhir kisah seorang pangeran yang menerapkan adat di luar prikemanusiaan dan tidak menghormati hak orang lain. Tetapi juga seorang pahlawan yang mengusir penjajah dari bumi pertiwi.
Sejak meninggalnya Pangeran Sidang Penape, kehidupan penduduk Sukadana normal kembali; negeri yang aman dan tentram.
Rakyat yang hidup berpindah-pindah mencari kebutuhan sehari-hari dan kembali ke tempat tinggalnya setelah selesai memenuhi kewajibannya mencari nafkah bagi keluarga.
Namun, nama Pangeran Sidang Penape selalu menjadi buah bibir dan menjadi kisah kebanggaan bagi negerinya, karena memiliki seorang pangeran yang sakti mandraguna, tidak tertandingi dan berhasil mengusir penjajah Belanda.
Tidak seorang pun yang memperdulikan lagi tentang peraturan yang pernah diterapkan Pangeran Sidang Penape. Mereka memilih mengenang kebaikan orang lain dan melupakan kejahatan yang pernah dilakukannya.
Sembilan bulan sepuluh hari sejak kematian Pangeran Sidang Penape, perempuan yang menungguinya melahirkan seorang putra. Kelahirannya sangat mengejutkan orang banyak, karena tembuniknya keras, membesar dan membatu.
Tembunik inilah yang disebut Batu Sebugal. Kini dianggap sebagai peninggalan kerajaan tua Matan.
Hingga akhir kerajaan Simpang, Batu Sebugal itu dijadikan benda keramat, batu tempat bertapa mengharapkan kesaktian Pangeran Sidang Penape, pendekar sakti yang tidak pernah memiliki seorang murid.
Pangeran Sidang Penape tidak pernah menurunkan sedikitpun kesaktian yang dimilikinya kepada orang lain seperti kebal senjata tajam dan tumpul, tahan tembak, rendam, bakar dan segala jenis kedigjayaan lainnya.
Tetapi masyarakat menyakini, dengan bertapa di atas Batu Sebugal dan mengalami berbagai cobaan serta godaan, orang tersebut akan mewarisi segala kesaktian yang pernah dimiliki Pangeran Sidang Penape.
Dahulu kala, orang yang selesai bertapa di Batu Sebugal, kesaktiannya akan dites (dicoba) dengan merobek batang-batang pohon yang besar dan ditikam atau digores dengan senjata tajam. Bila kulitnya masih tergores, orang tersebut akan kembali bertapa hingga keinginannya tercapai.
Orang melupakan kalau Pangeran Sidang Penape memiliki keturunan, seorang putra yang lahir dengan tembunik yang membantu. Padahal telah diyakini kalau kesaktian Pangeran Sidang Penape menitis pada orang yang disebut Keturunan Sebugal itu.
Kendati demikian, Keturunan Sebugal ini bukannya tidak ada. Mereka memiliki ciri-ciri berbadan besar, tegap dan gagah. Tetapi tidak pernah memperlihatkan kesaktian seperti halnya Pangeran Sidang Penape.
Masyarakat sekarang tidak mengetahui secara pasti, siapa saja Keturunan Sebugal. Karena tidak seorang pun dari keturunan Pangeran Sidang Penape itu yang populer, baik karena kesaktian maupun perbuatannya.
Selain kisah Pangeran Sidang Penape yang mengagumkan, orang-orang tertentu masih mencari siapa dan di mana keberadaan Keturunan Sebugal. Tentu saja mengharapkan orang tersebut menurunkan kesaktian Pangeran Sidang Penape kepadanya.
*Kesaktian Pangeran Sidang Penape Terus Diburu
Sampai sekarang pun, masih banyak yang tergiur mewarisi kesaktian Pangeran Sidang Penape seperti kebal senjata tajam dan tumpul, tahan tembak, rendam, bakar dan segala jenis kedigjayaan lainnya.
Berbagai cara pun ditempuh, di antaranya dengan bertapa di Batu Sebugal, yang diyakini merupakan tembunik keturunan satu-satunya Pangeran Sidang Penape dari perempuan yang menemaninya ketika detik-detik menjelang kematian.
Bagi yang bertapa di atas Batu Sebugal, akan mengalami berbagai cobaan dan hambatan. Tetapi, dari berbagai cerita masyarakat, tidak disebutkan jenis cobaan dan hambatan yang harus dilalui untuk mendapatkan kesaktian yang dimiliki Pangeran Sidang Penape itu.
Tidak hanya jenis cobaan yang tidak diketahui secara pasti, lamanya waktu bertapa pun tidak disebutkan. Apalagi hal itu hanya didasarkan pada keyakinan masing-masing bukan ketentuan yang diberikan seorang guru atau dari Pangeran Sidang Penape Sendiri.
Selain itu, tidak satu pun cerita lisan maupun tulisan yang menyebutkan siapa dan di mana tempat tinggal Keturunan Sebugal. Masyarakat hanya meyakini kalau keturunan Pangeran Sidang Penape itu berbadan besar, tegap dan gagah.
Berpuluh-puluh tahun masyarakat mencari tahu siapa Keturunan Sebugal, tapi tidak membuahkan hasil. Karena tidak satupun yang mengaku atau diketahui sebagai keturunan Pangeran Sidang Penape.
Seiring peralihan dan perkembangan zaman, kisah Pangeran Sidang Penape dianggap legenda belaka. Bahkan beberapa orang meragukan kebenaran kisahnya. Karena tidak ada bukti yang otentik selain Batu Sebugal yang diyakini sebagai tembunik anak Pangeran Sidang Penape.
Tetapi cerita pangeran sakti mandraguna itu terus diwariskan. Termasuk kepada anak-anak sekolah. Karena di dalam kisah Pangeran Sidang Penape terdapat beberapa pelajaran yang dapat diambil hikmahnya.
Di antaranya, tidak selamanya adat itu memberikan dampak positif kalau melanggar nilai kemanusiaan. Kesaktian tidak menjamin seseorang tidak bisa mati (pasti ada kelemahannya), karena setiap makhluk yang bernyawa pasti akan mati.
Nasionalisme Pangeran Sidang Penape patut diacungi jempol, dia rela berkorban agar daerahnya tidak dijajah. Selain itu, kesaktiannya juga digunakan untuk meluluhkan lantakkan penjajah yang ingin merenggut bumi pertiwi.
Pada kisah Pangeran Sidang Penape juga terdapat nilai positif lainnya, yakni mendahulukan kepentingan umum ketimbang pribadi, seperti yang dilakukan Raja Sukadana yang mengorbankan persaudaraan demi kemaslahan rakyatnya. (*)