Monday, 5 April 2010

Tolak Sumber Energi dari Minyak Nabati

Posted on 14:49 by Mordiadi

Publik Eropa sibuk menolak penggunaan minyak nabati sebagai sumber energi. Karena dampak dari pemenuhan bahan bakunya menyebabkan besarnya kerusakan lingkungan.

"Cukup memanfaatkan sisa-sisa nabati untuk dijadikan sumber energi, itu yang sedang dikembangkan," kata Claudia Thiele, Anggota Milieudefensie, Friends of The Earth, Netherlands (Walhi-nya Belanda) ketika Launching Hasil Buku "Pengurusan yang gagal-Penghindaran Tanggungjawab" di Tapaz Pontianak, Senin (29/3).

Claudia yang tidak terlalu fasih berbahasa Indonesia menerangkan, bila menggunakan sisa-sisa tentunya tidak akan menyebabkan ekspansi lahan besar-besaran. "Tentunya berbeda bila menggunakan minyak nabati yang membutuhkan ekspansi lahan," katanya.

Minyak nabati yang dimaksudkannya ini tidak hanya dari Sawit, tetapi juga dari tanaman lainnya yang dapat menghasilkan minyak nabati. "Banyak dampak yang dimunculkan bila menggunakan minyak nabati sebagai sumber energi," ujar Claudia.

Terkait pengembangan energi nabatiini, sudah lebih dari satu dekade dilakukan Uni Eropa, terutama penggunaan biomassa untuk bahan bakar dan pembangkit listrik.
Belanda menyadari, untuk mencapai ambisi tersebut, harus bergantung pada impor, karena potensi sumber-sumber biomassa di dalam negerinya terbatas. Pada 2030 diperkirakan 60 persen dari pasokan energi nabati harus mengimpor.

Dalam skenario penyediaan energi masa depan di Belanda, biomassa haus menyediaakan sebagian besar tenaga listrik "hijau" pada 2020. Untuk perluasan sasaran 10 persen energi terbarukan di bidnag transportasi, skenario masa depan Belanda bahkan akan menuju sasaran 20 persen wahana transportasi akan memakai bahan bakar nabati pada 2020.

Perusahaan minyak sawit dan energi sangat berminat untuk melayani pasar baru yang terjamin ini. Alhasil, areal perkebunan sawit meningkat pesat di negara-negara tropis, seperti Indonesia khususnya Kalbar. Kilang-kilang besar pun dibangun di pelabuhan seperti di Singapura dan Rotterdam, untuk mengubah minyak nabati menjadi bahan bakar nabati.

Permintaan dan impor minyak sawit Belanda akan meningkat tinggi ketika kilang-kilnag dari perusahaan seperti Neste Oil Rotterdam dan Clean Energy Zwijndrecht mulai beroperasi dan ketika minyak sawit digunakan perusahaan-perusahaan energi sebagai salah satu bahan bakar.

Di antara sekian banyak minyak nabati, sawit merupakan yang paling murah di pasaran. Maka sawit ini akan menggantikan minyak nabati lainnya yang telah dialihfungsikan.

Minyak sawit juga semakin banyak dipakai secara langsung untuk produksi bahan kabar nabati. Walaupun produksinya menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi manusia di bumi.

Muncullah gugatan dari publik terkait permasalahan tersebut, karena alam terancam kehilangan keanekaragaman hayati, muncul konflik dengan masyarakat lokal seperti yang terjadi di Ketapang terakait kasus PT BIG dan petani sawit.

Claudia menjelaskan, keraguan yang besar akan dampak pengembangan minyak sawit terhadap iklim mendorong pengembangan pengaturan tentang produksi berwawasan lingkungan seperti yang tertunag dalam Peraturan Energi Terbarukan (Renewable Energy Directive/RED) yang dikeluakan Uni Eropa.

Dia menjelaskan, sejak 2004 bahan bakar nabati mulai dikenal sebagai sasaran investasi yang menarik, baik di negara penghasil maupun pemakai.
Sasaran Uni Eropa untuk memakai bahan bakar nabati disebabkan pertimbangan lingkungan dan ekonomis serta membuka perspektif akan adanya pasaran tambahan untuk minyak sawit.

"Terbayang akan pertumbuhan pasar bahan bakar nabati di Eropa, Indonesia dan Malaysia segera mengumumkan komitmennya untuk menyiapkan 40 persen dari produksi total sawit mereka sebagai bahan bakar nabati," ungkap Claudia.

Akibatnya, pasokan bahan bakar nabati, bersamaan dengan harga-harga komoditas lainnya mulai meningkat tajam. Kemudian lesu pada awal 2008.
Selama ini, Indonesia dikenal sebagai Jamrud Khatulistiwa. Namun baru-baru ini Buku Rekor Dunia Guiness mencatatnya sebagai negara dengan tingkat deforestasi tertinggi di dunia. "Suatu rekor yang banyak mengundang pertanyaan," kata Claudia.

Tingginya tingkat deforestasi ini dikarenakan terjadinya pembukan kawasan hutan tanpa adanya persetujuan. Pembukaannya dilakukan dengan membakar lahan gambut dan lainnya. Sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara terbesar ketiga penghasil efek gas rumah kaca. "Bukti bahwa Industri kelapa sawit menjadi pendorong terkuat hilangnya hutan di Indonesia sudah terlalu banyak," ungkap Claudia.

Di antaranya, banyak perusahaan-perusahaan seperti di Ketapang, Kalbar yang membuka hutan tanpa persetujuan dari instansi yang berwenang. Sehingga mereka membuka hutan yang semestinya ditujukan untuk fungsi-fungsi perlindungan lingkungan. (*)

No Response to "Tolak Sumber Energi dari Minyak Nabati"

Leave A Reply

BTC

Doge

LTC

BCH

DASH

Tokens

SAMPAI JUMPA LAGI

SEMOGA ANDA MEMPEROLEH SESUATU YANG BERGUNA