Sunday, 9 May 2010
Nasionalisme Kian Melemah
Posted on 06:47 by Mordiadi
PONTIANAK. Nilai kebangsaan (nasionalisme) saat ini semakin berkurang, melemah, bahkan tidak ada yang mengerti dan peduli. Sudut pandang (paradigma) lama tentang nasionalisme berbasis ikatan emosional masa lalu tidak lagi relevan.
"Faktor keadilan, kesetaraan dan kebebasan yang selama ini terabaikan membuat fragmentasi kebangsaan yang begitu besar," kata Dr Laode Ida, Wakil Ketua DPD-RI ketika Sosialisasi Wawasan Kebangsaan di Balai Petitih Kantor Gubernur Kalbar, kemarin (6/5).
Dia menjelaskan, nilai-nilai pengorbanan, kesederajatan, kekeluargaan yang diperjuangkan pendiri bangsa mengingatkan pentingnya pembangunan karakter bangsa (nation character building). "Bung Karno banyak mengingatkan pentingnya membentuk pembangunan karakter bangsa," kata Laode.
Mengutip Benedict Andersan, kata Laode, sejak Indonesia merdeka, para pemimpin negeri ini baru sebatas berhasil membentuk negara dalam arti seperangkat lembaga termasuk aturannya sebagai istrumen kekuasan bagi penguasa. "Apa yang disebut bangsa (nation), belum berhasil dibangun. Bahkan baru sebatas sesuatu komunitas yang dirindukan," katanya.
Akibat kecenderungan terjadinya kemerosotan (degradasi) kebangsaan membuat nasionalisme yang berbasis pada ikatan emosional tersebut–karena sama-sama dijajah Belanda– dan faktor sejarah untuk era sekarang tidak lagi relevan.
Dikarenakan yang lebih mencuat persoalan terkait keadilan, keseteraan dan kebebasan menyebabkan terjadinya berbagai fragmentasi yang begitu besar.
Laode mencontohkan, ketika zaman Orde Lama (Orla) perbedaan pendapatan antara daerah dan pusat disikapi dengan pengerahan TNI. Pada Zaman Orde Baru (Orba), rakyat yang tidak sejalan dengan pemerintah diposisikan sebagai ancaman.
Sementara zaman reformasi sekarang ini, di tengah demokratisasi justru perilaku degradatif kian merajalela di berbagai level birokrasi pemerintah. "KKN merajelala, muncul perilaku mafia di kalangan elit khususnya aparat pemerintahan yang merusak eksistensi negara," papar Laode.
Selain itu, muncul kaum elit yang lebih menonjolkan kepentingan sendiri atau kelompoknya dan melupakan kepentingan bangsa. Muncul juga perilaku yang tidak menghargai pluralitas atau toleransi dalam mengembangkan keberadaan anggota bangsa. "Pemanfaatan sumberdaya alam pun masih belum keluar dari paradigma lama. Sehingga hanya dinikmati pihak-pihak tertentu," ungkap Laode.
Menurut dia, kebijakan nasional yang tidak adil dan menyuburkan potensi perpecahan saat ini, menyebabkan hilangsanya rasa bangga sebagai bangsa yang berpotensi mengakibatkan munculnya gejala etno-nasionalisme.
Sebagai contoh, terjadinya penjualan hasil alam Indonesia tanpa nilai tambah yang bisa menguntungkan secara proporsional bagi kepentingan bangsa, termasuk menjual tanah atau pasir ke luar negeri.
Permasalahan lainnya yang muncul di era reformasi sekarang ini, terang Laode, terjadinya intervensi pasar berupa produk-produk asing yang sebenarnya dapat dibuat di dalam negeri. Batas-batas kedaulatan negara pun semakin kabur akibat arus globalisasi yang didorong kemajuan teknologi informasi komunikasi dan transportasi.
Melihat permasalahan-permasalahan tersebut, kata Laode, membangun rasa kebangsaan kembali semakin penting untuk dijadikan landasan yang kuat. "Sehingga dapat berbuat maksimal untuk kepentingan bangsa tanpa mengenal lelah," terangnya.
Menurut Laode, rasa kebangsaan dapat memotivasi untuk berbuat yang terbaik bagi bangsa, pantang menyerah dan mau berjuang demi kehormatan bangsa. "Rasa kebangsaan dapat mendorong upaya untuk senantiasa menjaga kehormatan bangsa di manapun anggota bangsa itu berada," katanya.
Di tempat yang sama, Peneliti dari Fisip Untan, Netty Herawati menilai, sejak awal didirikan, Indonesia terdiri atas berbagai suku dan budaya. "Oleh karena itu, pluralitas masyarakat Indonesia menjadi ciri khas bangsa yang jika dikelola dengan baik dapat menjadi kekayaan dan potensi dalam membangun bangsa," terangnya.
Namun, tambah dia, bila pluralisme itu tidak dapat dikelola dengan baik, akan menjadi sumber konflik dan faktor pemicu perpecahan (disintegrasi).
Menurut Netty, sikap toleransi menjadi syarat utama untuk mengisi interaksi serta mengawal praktik demokrasi dalam masyarakat pluralis. "Suatu pendekatan yang dikenal dengan istilah multikulturalisme, dalam pengejawantahannya memberi ruang bagi setiap anggota budaya untuk mengembangkan jatidirinya masing-masing dalam persamaan derajat dan kesetaraan didukung sikap saling menghormati atau toleransi," paparnya.
Dengan didukung proses komunikasi antarbudaya yang berlangsung efektif, kata Netty, tentunya bangsa ini dapat mengembangkan kehidupan demokrasi yang sesuai dengan nilai-nilai dan ciri khas budaya masyarakat Indonesia. (*)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No Response to "Nasionalisme Kian Melemah"
Leave A Reply